I
Bahia adalah jalanan batu yang tersusun rapi, hamparan gedung baroque berwarna pastel, cahaya temaram, dan musik dan tarian; sama seperti yang tertulis di buku pedoman berpergian. Tidak ada hal baru yang mengejutkan saya selain mengetahui bahwa membawa barang-barang di sudut yang pun tidak terlalu sepi di Bahia dan tetap merasa aman merupakan suatu pengharapan yang berbahaya.
Magellan -pemandu saya- tampaknya berhasil mengenali kekurangpuasan saya, dan begitulah ia mengajak saya untuk melihat ke sisi lain.
Dan demikian ia mulai bercerita. Bahwa di balik selimut pasir-pasir putih pantai tersembunyi tapak-tapak yang dalam, mungkin karena memanggul beban terlalu berat, mungkin karena mimpinya direnggut terlalu muda saat belum lagi sempat terlelap. Jajaran pantai itu pernah merengkuh tubuh-tubuh legam mengilap yang didatangkan dari seberang lautan dan menjadi bersedih karena tubuh-tubuh itu membawa serta lebam, darah, dan keputusasaan.
Saya terlewatkan musim carnaval namun Magellan merupakan penutur yang baik. Ia dapat membuat saya melihat barisan orang dalam balutan warna-warni pakaian serta keriaan yang menari dan menyanyi. Musik Chiclete Com Banana dan Ivete Sangalo bergantian menyerbu telinga. Pasangan bercumbu di pojok yang agak tersembunyi maupun di jalanan. Sedangkan di sisi atas, dari kotak-kotak eksklusif yang sengaja dibuat di sisi gedung yang menghadap ke jalan, beberapa orang rela membayar lebih banyak untuk dapat melihat kegilaan di bawah kaki mereka dengan keamanan dan kenyamanan tetap terjamin.
Namun carnaval tidak pernah dapat membawa cukup penghiburan bagi sebagian besar warga lokal Bahia; para kaum afro-brazil. Mereka tersisih untuk memberi ruang pesta bagi para penggembira. Di pinggiran kota, beberapa tidur bersisian dengan tempat sampah, juga di bawah lindungan kardus bekas kemasan televisi sebagai atap. Anak-anak mereka mengembara di jalan-jalan mengiba sedikit uang kepada siapapun yang dapat mereka temui. Mereka terlalu angkuh untuk mau tinggal di favela yang dibangun oleh pemerintah. Tetapi tampaknya keangkuhanlah yang menyelamatkan hidup mereka pada hari-hari ini.
Ternyata ketidakadilan tidak pernah benar-benar pergi dari tempat ini. Ketiadaan kekuatan politik dan ekonomi,serta akses pendidikan bagi kaum berkulit gelap ini menyebabkan para pemuda mereka dibiarkan memelihara mimpi tentang menjadi penyanyi atau pesepakbola; tempat yang masih menyambut keberadaan mereka dengan baik.
Begitulah gerutu menyelinap di lorong-lorong gelap hingga sampai ke obrolan kopi di ruang keluarga yang selalu muram. Kadang apatis, kadang sarkastis. Dibumbui oleh luka lama yang diderita para leluhur mereka; yang untuk sekian waktu hanyalah merupakan pemikiran beku seperti anak kecil yang meringkuk ketakutan di belakang kepala mereka namun seketika menjadi geram yang membakar ketika terjadi ketidaksepakatan bersama dalam obrolan kopi di malam dengan udara pekat -seperti malam ini. Dan inilah saatnya ketika cocada tidak sanggup menggugah selera saya lagi.
II
Perjalanan pun berlanjut ke terreiro di pinggiran kota. Suatu tenda yang menyerupai rumah atau sebaliknya. Pai-de-santo, atau bisa juga disebut pastur terreiro ini boleh saja menggerutu bahwa ia tidak mengakui sinkretisme dalam Candomble -agama yang merupakan simbol pemberontakan kaum tertindas. Namun saya bisa melihat Santo Anthony bersandingan dengan Dewa Xango yang berwarna merah dan putih. Di tempat ini saya menyetujui pernyataan Magellan bahwa Candomble merupakan suatu agama yang kuno dan bijak: untuk dapat memahami kekuatan Dewa Oxossi, maka belajarlah berpikir bahwa ia adalah Santo George.
Dan kini ritus pun dimulai. Pai-de-santo agak tergesa menyucikan ruangan dengan cerutu yang besar sambil meminta dengan sopan kepada roh penengah untuk tidak mengganggu perayaan mereka. Genderang mengeluarkan ritme yang ganjil mengiringi Pai-de-santo yang membaca bait ritual. Sedangkan di tengah ruang pemujaan, para pria dan wanita mulai menari mengikuti irama. Berharap sangat untuk apa yang disebut Umberto Eco sebagai "dalam pelukan Dewa".
Saya berada di antara mereka.
Mata saya menghadap langit-langit. Mencari entah apa. Keringat mengalir di belakang telinga saya hingga leher akibat pergerakan konstan tubuh untuk dapat mengikuti alunan genderang keramat dalam tempo cepat. Saya merasa saya akan gagal setelah melihat pria dan wanita di sekeliling saya mulai melakukan gerakan-gerakan kaku dan saya belum berekstasi. Tatapan mereka yang gelisah dan kejang berkelanjutan semakin membuat saya putus asa. Mereka telah melompati batas dunia lain sedangkan saya di sini sendiri masih mencoba untuk lepas kendali. Dan hingga bagian ritus paling akhir, saya tidak dapat merayakan kekuatan Dewa.
Saya pun merasa tertipu. Pai-de-santo pada awal perjumpaan mengamati telapak tangan saya dan mengatakan bahwa saya adalah anak Oxala -Dewa tertinggi. Namun kenyataan bahwa Oxala tidak merasuki saya membuat saya merasa terlalu kecewa.
Sejatinya yang terjadi bukanlah saya kecewa karena merasa dibohongi. Saya kecewa karena saya tidak dapat menjadi bagian dari permainan. Saya agak merindukan masa itu. Masa ketika saya terpukau kepada setiap benda; ketika pelbagai hal tidak dipaksakan masuk ke dalam diri yang luas lagi cekak; ketika saya berpikir bahwa saya adalah apapun yang saya pikirkan.
III
Hell is other people, demikian Sartre mengatakan dalam drama No Exit.
Garcin, Inez, dan Estelle memang tidak dicampakkan ke kerak neraka dengan panas menggelegak. Mereka hidup di ruangan yang tidak terlalu luas, tanpa jendela, tiada kasur, nihil cermin, dan pintu yang selalu terkunci. Lampu selamanya menyala dan kelopak mata mereka lumpuh hingga berkedip pun merupakan suatu kemewahan. Mereka tidak mampu tidur serta dikutuk untuk selalu mengawasi yang lain dan diawasi oleh yang lain; selalu mengada bagi yang lain. Tak ada privasi, tak ada waktu dan ruang untuk diri sendiri.
Karakter-karakter dalam peran tersebut berpikir bahwa apapun yang mereka lakukan tidak pernah terlepas dari orang lain. Pikiran dan tindakan dibentuk oleh penilaian orang lain. Segala keinginan diri sering berbaur dengan harapan orang lain yang dilekatkan pada diri.
Menjadi pahlawan atau pencoleng; suami yang baik walaupun beristrikan tujuh wanita atau istri yang buruk karena menjual diri untuk menghidupi keluarga; kawan atau lawan; kiri atau kanan. Segala rangka penilaian itu didisiplinkan melalui keluarga, tetangga, lembaga agama, sekolah, negara dan pada akhirnya mewujud pada diri melalui cara berpakaian, pilihan pekerjaan, jenis makanan, musik yang didengarkan, segala hal yang disukai dan dibenci karena orang lain menyukai atau membenci hal tersebut.
IV
Magellan adalah seorang mantan petinju. Hanya itu yang saya ketahui. Ia lelah menjalani perang orang lain, katanya suatu ketika kepada saya. Keluarganya tidak pernah menerimanya karena menurut mereka tubuhnya ada bersama mereka namun pikirannya ditawan di rumah gila. Mungkin itu sebabnya ia tidak menyingkapkan dirinya; menyimpan dirinya untuk dirinya sendiri. Mungkin itu caranya menyesuaikan diri supaya bisa tetap hidup di antara dirinya dan orang lain. Mungkin itu caranya melalui hari dan malam.
Dan saya adalah tamu yang hanya singgah tak lama.
My formula for living is quite simple. I get up in the morning and I go to bed at night. In between, I occupy myself as best I can (Cary Grant)
Bahia adalah jalanan batu yang tersusun rapi, hamparan gedung baroque berwarna pastel, cahaya temaram, dan musik dan tarian; sama seperti yang tertulis di buku pedoman berpergian. Tidak ada hal baru yang mengejutkan saya selain mengetahui bahwa membawa barang-barang di sudut yang pun tidak terlalu sepi di Bahia dan tetap merasa aman merupakan suatu pengharapan yang berbahaya.
Magellan -pemandu saya- tampaknya berhasil mengenali kekurangpuasan saya, dan begitulah ia mengajak saya untuk melihat ke sisi lain.
Dan demikian ia mulai bercerita. Bahwa di balik selimut pasir-pasir putih pantai tersembunyi tapak-tapak yang dalam, mungkin karena memanggul beban terlalu berat, mungkin karena mimpinya direnggut terlalu muda saat belum lagi sempat terlelap. Jajaran pantai itu pernah merengkuh tubuh-tubuh legam mengilap yang didatangkan dari seberang lautan dan menjadi bersedih karena tubuh-tubuh itu membawa serta lebam, darah, dan keputusasaan.
Saya terlewatkan musim carnaval namun Magellan merupakan penutur yang baik. Ia dapat membuat saya melihat barisan orang dalam balutan warna-warni pakaian serta keriaan yang menari dan menyanyi. Musik Chiclete Com Banana dan Ivete Sangalo bergantian menyerbu telinga. Pasangan bercumbu di pojok yang agak tersembunyi maupun di jalanan. Sedangkan di sisi atas, dari kotak-kotak eksklusif yang sengaja dibuat di sisi gedung yang menghadap ke jalan, beberapa orang rela membayar lebih banyak untuk dapat melihat kegilaan di bawah kaki mereka dengan keamanan dan kenyamanan tetap terjamin.
Namun carnaval tidak pernah dapat membawa cukup penghiburan bagi sebagian besar warga lokal Bahia; para kaum afro-brazil. Mereka tersisih untuk memberi ruang pesta bagi para penggembira. Di pinggiran kota, beberapa tidur bersisian dengan tempat sampah, juga di bawah lindungan kardus bekas kemasan televisi sebagai atap. Anak-anak mereka mengembara di jalan-jalan mengiba sedikit uang kepada siapapun yang dapat mereka temui. Mereka terlalu angkuh untuk mau tinggal di favela yang dibangun oleh pemerintah. Tetapi tampaknya keangkuhanlah yang menyelamatkan hidup mereka pada hari-hari ini.
Ternyata ketidakadilan tidak pernah benar-benar pergi dari tempat ini. Ketiadaan kekuatan politik dan ekonomi,serta akses pendidikan bagi kaum berkulit gelap ini menyebabkan para pemuda mereka dibiarkan memelihara mimpi tentang menjadi penyanyi atau pesepakbola; tempat yang masih menyambut keberadaan mereka dengan baik.
Begitulah gerutu menyelinap di lorong-lorong gelap hingga sampai ke obrolan kopi di ruang keluarga yang selalu muram. Kadang apatis, kadang sarkastis. Dibumbui oleh luka lama yang diderita para leluhur mereka; yang untuk sekian waktu hanyalah merupakan pemikiran beku seperti anak kecil yang meringkuk ketakutan di belakang kepala mereka namun seketika menjadi geram yang membakar ketika terjadi ketidaksepakatan bersama dalam obrolan kopi di malam dengan udara pekat -seperti malam ini. Dan inilah saatnya ketika cocada tidak sanggup menggugah selera saya lagi.
II
Perjalanan pun berlanjut ke terreiro di pinggiran kota. Suatu tenda yang menyerupai rumah atau sebaliknya. Pai-de-santo, atau bisa juga disebut pastur terreiro ini boleh saja menggerutu bahwa ia tidak mengakui sinkretisme dalam Candomble -agama yang merupakan simbol pemberontakan kaum tertindas. Namun saya bisa melihat Santo Anthony bersandingan dengan Dewa Xango yang berwarna merah dan putih. Di tempat ini saya menyetujui pernyataan Magellan bahwa Candomble merupakan suatu agama yang kuno dan bijak: untuk dapat memahami kekuatan Dewa Oxossi, maka belajarlah berpikir bahwa ia adalah Santo George.
Dan kini ritus pun dimulai. Pai-de-santo agak tergesa menyucikan ruangan dengan cerutu yang besar sambil meminta dengan sopan kepada roh penengah untuk tidak mengganggu perayaan mereka. Genderang mengeluarkan ritme yang ganjil mengiringi Pai-de-santo yang membaca bait ritual. Sedangkan di tengah ruang pemujaan, para pria dan wanita mulai menari mengikuti irama. Berharap sangat untuk apa yang disebut Umberto Eco sebagai "dalam pelukan Dewa".
Saya berada di antara mereka.
Mata saya menghadap langit-langit. Mencari entah apa. Keringat mengalir di belakang telinga saya hingga leher akibat pergerakan konstan tubuh untuk dapat mengikuti alunan genderang keramat dalam tempo cepat. Saya merasa saya akan gagal setelah melihat pria dan wanita di sekeliling saya mulai melakukan gerakan-gerakan kaku dan saya belum berekstasi. Tatapan mereka yang gelisah dan kejang berkelanjutan semakin membuat saya putus asa. Mereka telah melompati batas dunia lain sedangkan saya di sini sendiri masih mencoba untuk lepas kendali. Dan hingga bagian ritus paling akhir, saya tidak dapat merayakan kekuatan Dewa.
Saya pun merasa tertipu. Pai-de-santo pada awal perjumpaan mengamati telapak tangan saya dan mengatakan bahwa saya adalah anak Oxala -Dewa tertinggi. Namun kenyataan bahwa Oxala tidak merasuki saya membuat saya merasa terlalu kecewa.
Sejatinya yang terjadi bukanlah saya kecewa karena merasa dibohongi. Saya kecewa karena saya tidak dapat menjadi bagian dari permainan. Saya agak merindukan masa itu. Masa ketika saya terpukau kepada setiap benda; ketika pelbagai hal tidak dipaksakan masuk ke dalam diri yang luas lagi cekak; ketika saya berpikir bahwa saya adalah apapun yang saya pikirkan.
III
Hell is other people, demikian Sartre mengatakan dalam drama No Exit.
Garcin, Inez, dan Estelle memang tidak dicampakkan ke kerak neraka dengan panas menggelegak. Mereka hidup di ruangan yang tidak terlalu luas, tanpa jendela, tiada kasur, nihil cermin, dan pintu yang selalu terkunci. Lampu selamanya menyala dan kelopak mata mereka lumpuh hingga berkedip pun merupakan suatu kemewahan. Mereka tidak mampu tidur serta dikutuk untuk selalu mengawasi yang lain dan diawasi oleh yang lain; selalu mengada bagi yang lain. Tak ada privasi, tak ada waktu dan ruang untuk diri sendiri.
Karakter-karakter dalam peran tersebut berpikir bahwa apapun yang mereka lakukan tidak pernah terlepas dari orang lain. Pikiran dan tindakan dibentuk oleh penilaian orang lain. Segala keinginan diri sering berbaur dengan harapan orang lain yang dilekatkan pada diri.
Menjadi pahlawan atau pencoleng; suami yang baik walaupun beristrikan tujuh wanita atau istri yang buruk karena menjual diri untuk menghidupi keluarga; kawan atau lawan; kiri atau kanan. Segala rangka penilaian itu didisiplinkan melalui keluarga, tetangga, lembaga agama, sekolah, negara dan pada akhirnya mewujud pada diri melalui cara berpakaian, pilihan pekerjaan, jenis makanan, musik yang didengarkan, segala hal yang disukai dan dibenci karena orang lain menyukai atau membenci hal tersebut.
IV
Magellan adalah seorang mantan petinju. Hanya itu yang saya ketahui. Ia lelah menjalani perang orang lain, katanya suatu ketika kepada saya. Keluarganya tidak pernah menerimanya karena menurut mereka tubuhnya ada bersama mereka namun pikirannya ditawan di rumah gila. Mungkin itu sebabnya ia tidak menyingkapkan dirinya; menyimpan dirinya untuk dirinya sendiri. Mungkin itu caranya menyesuaikan diri supaya bisa tetap hidup di antara dirinya dan orang lain. Mungkin itu caranya melalui hari dan malam.
Dan saya adalah tamu yang hanya singgah tak lama.
My formula for living is quite simple. I get up in the morning and I go to bed at night. In between, I occupy myself as best I can (Cary Grant)
13 comments:
Hell is other people...selalu mengada bagi yg lain...pikiran dan tindakan dibentuk oleh penilaian orang lain...hm hmmm...aku banget itu...suka ribet sendiri mikirin pendapat orang, suka mempesulit hal-hal yg tidak sulit, maka benarlah kata Confusius: life is really simple, but we insist on making it complicated...
Welcome back, Brader...selalu merindu tulisanmu...!
kyny bkn cm masalah mbak deh. masalah smua orang jg. hehe..
slanjutnya trgantung kpd kita gmn kita mlakukan pnyesuaian.
ayo nulis lg, mbak
just read it and like it! hehehe, mirip coelho bung :)
so, ke brazil kemarin?
tengkyu, sonn. coelho kejauhan brader. goenawan mohamad pun cukup lah. ahahaha..
mencicipi sedikit samba, bung
word verification : deness
deness law, the king of stretford end. :):)
wat took u so long?
been in brazil eh?
word verification : worshkob
got a headache after that mind-bundling tax worshkob..
i dont do much reading lately, cant think of anything other than d office thing so i kinda get rusty writing.
so, u got tax on your diet, eh? ;)
de tax almost killed me. glad to find gayus on de way,
terimakasih atas postingnya.
sangat membantu.
kunjungi jg bahan bacaan saya :
jurnal ekonomi andalas
mantap bos artikelnya dan sangat menarik
makasih gan buat infonya dan salam sukses selalu
bagus sob artikelnya dan menarik
keren mas buat infonya da semoga bermanfaat
ok sob infonya dan salam kenal
Post a Comment