tag:blogger.com,1999:blog-89645416905810885952024-03-13T10:21:01.805+07:00penalabirinezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.comBlogger33125tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-78451533589626511392011-09-22T23:24:00.005+07:002011-09-22T23:42:43.477+07:00junin toiro: hal yang tak selesai<span style="font-weight: bold;font-family:trebuchet ms;font-size:100%;" >I</span><span style="font-size:100%;"> <span style="font-family:trebuchet ms;"><br />senin pagi. kau keluarkan kartu suica dari saku kemejamu, tempelkan pada alat pemindai kecil, lampunya berubah biru, yang berarti kau diizinkan masuk untuk menunggu. musik terdengar, keretamu menjemput, bahkan sebelum kau sempat berpikir untuk mengeluh. mesin itu tak pernah mengecewakanmu. suasana hatimu pun tidak berubah bahkan setelah kau mengetahui bahwa kursi yang kau incar telah direbut oleh seorang pria sebayamu. kau bisa lamat mendengar suara kicau burung tiruan yang berasal dari pengeras suara di luar kereta. dalam ritme, intensitas, dan tempo yang dirancang dengan sangat baik. biasanya cukup berhasil menenangkan. lalu akhirnya kau sadari bahwa Jepang adalah sebuah mesin besar.</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">pada dasarnya di sana kau akan merasa tak kasat mata. kalau kau ingin kau bisa seharian berjalan melintasi jalanan Tokyo dan mengetahui bahwa tak seorangpun melihatmu di mata. dan walaupun kereta itu penuh terisi oleh pekerja dan banyak gadis remaja berseragam sekolah, kau akan sulit mendengar adanya percakapan. tampaknya berkomunikasi bukanlah kebutuhan mereka. mereka hanya sedang menuju ke suatu tempat. apa yang mereka pikirkan adalah misteri.</span> <span style="font-family:trebuchet ms;"><br /><br />malam. beberapa pemuda ceking dengan pakaian konyol dan gaya rambut ganjil berusaha menarik perhatian para pejalan kaki untuk mengunjungi toko mereka. tentu saja kepala mereka sudah dipenuhi oleh angka-angka target pelanggan yang harus diperoleh. karena itulah bagaimana dunia bekerja akhir-akhir ini. namun di suatu sudut beberapa pemuda bermain dengan payung mereka. mereka sedang melatih ayunan golfnya. sepertinya mereka berada di luar sistem. mereka memang tidak mengekspresikan diri dengan melempar batu ke polisi anti huruhara. tetapi tampaknya para pemuda dengan tongkat golf itu memang bukan bagian dari sistem.<br /><br /><br /></span></span><span style="font-weight: bold;font-family:trebuchet ms;font-size:100%;" >II</span><span style="font-size:100%;"> <span style="font-family:trebuchet ms;"><br />Hide. adalah seorang teman saya yang merasa dirinya merupakan manifestasi hidup dari karakter tanpa nama dalam novel Haruki Murakami "A Wild Sheep Chase". ia menggambarkan hidupnya sebagai petualangan dalam memburu domba yang telah bertahun-tahun menghilang. ia menyebut dirinya orang yang akan tanpa ragu melepaskan bisnis senilai jutaan yen miliknya jika hatinya mulai berkata tidak. ia tidak tertarik dengan simbol. baginya ikan harus berenang, burung harus terbang. dan manusia harus hidup dalam ketidaksempurnaan-ketidakkekalan-ketidaklengkapan rancangannya.</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">saya teringat pada seorang teman sekaligus guru. di antara beberapa kesempatan yang kemudian melibatkan adanya percakapan, saya terkenang suatu momen ketika dia berkata: jadilah petani, penggarap sawah, pekerja di tanah yang tanpa jeda. jadilah pekerja kapitalis yang giat, kumpulkan untung berlipat-lipat. jadilah seorang ulama, pewarta majelis, pembimbing yang taat. jadilah aparat masyarakat, yang melayani dengan pantas. jadilah seorang pedagang, yang hidup dari komoditas, menghargai benda dengan nilai tukar. jadilah pelaut, yang merdeka, dengan resiko kesendirian dan malapetaka. jadilah penyair, penyeduh seni, yang bergantung pada daun-daun dan air sungai. atau jadilah montir, yang memeluki mesin dan berlumuran pelumas. karena ideal adalah meniti takdir masing-masing dengan tekun. karena kita hanya sekali berarti lalu mati.</span><span style="font-weight: bold;"><br /><br /><br /></span></span><span style="font-weight: bold;font-family:trebuchet ms;font-size:100%;" >III</span><span style="font-size:100%;"><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">saya menemani Hide mengunjungi pamannya di Shizuoka. kamar itu redup dan penuh</span> <span style="font-family:trebuchet ms;">asap. paman baru saja beranjak bangun dari berlutut ketika kami masuk. di atas altar dupa menyala. foto putrinya tidak berada di atas altar bersama foto para leluhur. menaruh foto putrinya di sana merupakan tanda penerimaan terakhir dari paman atas kepergian sang putri. ia belum bisa melakukan itu. bahkan setelah dua tahun sejak paman menemukan putrinya di dalam hutan Aokigahara Jukai --dalam kabut tipis, di bawah pohon, di atas hamparan daun mati, terbaring tubuhnya, bergelung seperti bayi, dengan capuchon tortoise favorit yang dia dapat saat ulangtahun ke-18. di sampingnya tergeletak kaleng bir dan wadah pil. tak jauh dari situ ditemukan secarik kertas catatan bertulis "To Kei" dan sebaris lirik dari lagu When We Dance milik Sting, "when we dance, angels will run and hide their wings".</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">sang paman dalam senja hidupnya. dan ia belum memutuskan mana bagian dari putrinya yang harus pergi dan mana yang tetap tinggal. sang putri. 20 tahun. begitu muda. mungkin pada saat itu ia berpikir bahwa ia tidak dirancang untuk gagal.</span></span>ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-29346654801835040702011-08-06T23:35:00.006+07:002011-08-07T01:02:11.437+07:00martyrs<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/-MWrSK--V11k/Tj1t1LJzyvI/AAAAAAAAAE0/7MLJCFiPQKk/s1600/martyrs1.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 263px; height: 219px;" src="http://3.bp.blogspot.com/-MWrSK--V11k/Tj1t1LJzyvI/AAAAAAAAAE0/7MLJCFiPQKk/s320/martyrs1.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5637783068832156402" border="0" /></a><br /><span style=";font-family:trebuchet ms;font-size:100%;" >Lucie kecil berlari setengah telanjang di tengah jalan. ia ketakutan dan menangis. tubuhnya dipenuhi memar dan darah segar maupun kering. ia tak ingin menengok ke belakang. tak ada yang tahu apa yang sesungguhnya terjadi selain ia, tuhan, dan Anna.<br /><br />Anna adalah gadis kecil penghuni tempat penampungan anak tempat Lucie dirawat. merasa terdampar dalam ketakutan yang sama, mereka pun menjadi teman. Lucie hanya mau berbicara kepada Anna. Itulah yang membuat Anna tahu bahwa setiap malam Lucie merasa diteror oleh makhluk serupa setan yang tubuhnya dipenuhi luka. Itulah yang merubah kehidupan Anna.<br /><br />cerita ini tidak menjanjikan penghiburan. yang akan ditemukan adalah kepedihan dari pembukaan sampai penutupan. darah, kekerasan, dan kesakitan terpapar secara nyata. gagasan tentang orang di sekitar kita bisa menjadi begitu keji menantang konsep tentang kebaikan dasar manusia.<br /><br />Lucie (dan juga Anna) adalah korban dari ambisi radikal suatu perserikatan rahasia. organisasi ini beranggotakan orang-orang yang telah begitu terikat dengan tataran keteraturan hingga pada suatu titik dimana mereka ingin menemukan ketidakteraturan dalam kehidupan. mereka terusik dengan pertanyaan tentang kehidupan setelah kematian; tentang dunia lain; tentang kekuatan yang melampaui dunia. dan demikianlah mereka memanfaatkan Lucie (dan banyak gadis lain) sebagai subyek.<br /><br />perserikatan ini meyakini bahwa melalui penderitaan yang dialami oleh tubuh, maka jiwa akan tercerahkan; akan diperoleh pengetahuan tentang dunia yang melampaui dunia fana ini. oleh karena itu organisasi ini melalui algojo-algojonya melakukan penyiksaan secara sistemik terhadap perempuan-perempuan tersebut. dari pencekokan makanan busuk hingga pemukulan repetitif dilakukan terhadap mereka. mereka dirantai, dicambuk, disayat, dipasangkan plat besi pada kepalanya, hingga berbagai macam siksaan lain yang tidak pernah terbayangkan dalam kehidupan manusia sehari-hari. tubuh dipaksa menerobos batas kenyamanan yang selama ini diterima. tubuh ditekan sedemikian rupa sampai jiwa menjadi hampa dan siap dimasuki kekuatan. tubuh didorong untuk mengalami penderitaan hingga mencapai suatu titik yang mendekati kematian dimana diharapkan kesadaran akan bisa diperoleh pada saat itu.<br /><br />pada akhirnya, cerita ini tidak menyajikan pengetahuan apa yang bisa diperoleh setelah banyak tubuh didera derita tidak terperikan. pada akhirnya, kita masih bertanya-tanya. pada akhirnya, mungkin pemahaman hanya bisa didapat dengan mengalami sendiri (?)<br /><br />catatan: </span><ul style="font-family:trebuchet ms;"><li><span style="font-size:100%;">martyr berasal dari bahasa Yunani kuno yang berarti saksi</span></li></ul><ul style="font-family:trebuchet ms;"><li><span style="font-size:100%;">Martyrs adalah film Prancis garapan Pascal Laugier pada tahun 2008. saya bisa mengatakan bahwa saya tidak bisa menikmati tiap adegannya karena kombinasi dari sudut pandang, suara, dan mood yang terbangkitkan oleh film itu membuat saya merasa lelah fisik dan mental. tetapi saya menghargai cara film ini memandang dunia dari sisi lain. darah di film ini bukan merupakan usaha ekshibisionis narsistis dari sang pembuat film untuk menunjukkan betapa bagusnya film ini.</span></li></ul><ul style="font-family:trebuchet ms;"><li><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:trebuchet ms;font-size:100%;" >pembuatan ulang film ini di Amerika sedang dalam proses. tapi saya tidak yakin sentuhan Amerika akan bisa menyamai pencapaian dari versi aslinya.</span><br /></span></li></ul>ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-52504088950343490042011-07-14T23:05:00.002+07:002011-07-14T23:07:18.254+07:00beberapa judul buku yang ingin saya baca<span style="font-size:100%;"><span style="font-family:trebuchet ms;">bagaimana cara mencuri waktu dari jam pasir?</span><span style="font-family:trebuchet ms;"><br /><br />siapakah yang tersenyum ketika saling bertemu: riak ombak atau pasir pantai?</span><span style="font-family:trebuchet ms;"><br /><br />kapan halilintar akan belajar pada ombak tentang pergi-kembali?</span><span style="font-family:trebuchet ms;"><br /><br />apakah gelap takut pada halilintar karena cahayanya atau karena kesementaraannya sendiri?</span><span style="font-family:trebuchet ms;"><br /><br />mengapa di kota ini gelap sering lupa waktu?</span></span>ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-29081350646108011692011-01-08T20:49:00.002+07:002011-01-08T21:03:32.571+07:00reminder<span style=";font-family:trebuchet ms;font-size:100%;" >dan tersebutlah suatu waktu.<br />istimewa.<br />seperti semua mata melihat ke kanan dan matamu terpaku ke kiri.<br />seperti barisan angka berkombinasi cantik.<br />seperti jatuh cinta di hari jumat.<br /><br />waktu yang menunggu.<br />seperti bel pulang sekolah menunggu murid menjadi gelisah.<br />seperti clarinet yang bernyanyi setelah cello dan piano bungkam.<br />seperti peraman anggur tahun 1923 dalam botol yang gendut dan bosan.<br /><br />dan tak ada waktu yang lain.<br />karena hanya pada saat itu cahaya datang dari titik tertentu,<br />dan bayangan jatuh dengan cara tertentu.<br />satu perseribu detik yang membedakan antara pemenang dan pecundang.<br />seperti pintu yang memisahkan dua kubu.<br /><br />karena tepat pada saat itu tubuh buruan memberi isyarat ia siap menerima peluru.<br />pada saat itu semesta bergerak bersamamu,<br />dan memastikan semua hal tidak terjadi padamu pada saat bersamaan.<br /><br />*******<br /><br />namun ada waktu yang lain.<br />ia bukanlah tahun, bulan, atau minggu.<br />karena dalam satu hari, ibu hanya tampak seperti seorang nenek keriput yang gundah.<br />karena dalam satu jam, kau adalah seorang remaja pemarah.<br />karena dalam satu menit, air mata dapat mengaliri pipi temanmu yang lincah.<br /><br />karena waktu ini adalah perjalanan.<br />dan kita adalah pengelana yang terhubung oleh suatu kebetulan terencana.<br /><br />kita adalah petualang yang melaju dalam mobil tercepat yang pernah dibuat.<br />tanpa sabuk pengaman, tanpa kantong udara.<br />karena kita ingin tetap awas,<br />karena kita ingin tahu apa yang menghantam kita,<br />karena jika kita tidak tahu berarti kita kalah, juga dungu.<br /><br />dan betapa kita percaya bahwa ada hal besar yang segera datang.<br />namun bukan ide tentang dunia yang lebih baik,<br />bukan pula tentang keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.<br />tapi mungkin seperti senja yang diisi dengan melipat origami;<br />mungkin seperti gambar naif tentang gunung, dan petak sawah, dan burung-burung;<br />mungkin seperti keindahan kecil yang dikerjakan oleh tangan-tangan kecil.<br /><br />dan bagaimana kita memisahkan diri dari ambisi mengejar kebahagiaan.<br />karena kita tahu kebahagiaan tak kekal.<br />ia seperti elang.<br />namun kakinya buntung.<br />gamang hinggap, senang terbang.<br /><br />dan tentang waktu demi waktu perenungan.<br />di toilet, di loteng, di bangku taman.<br />berpikir apa saja, mengutuki apa saja, berdoa apa saja.<br />seperti serdadu yang baru pulang dari medan perang.<br /><br />*******<br /><br />jika aku tua nanti, aku menolak takluk.<br />namun jika aku sungguh tunduk, maka mainkan lagu ini.<br />sebagai pengingat<br />bahwa kita adalah aku dan kamu,<br />bahwa kita pernah muda,<br />bahwa kita pernah bebas,<br />bahwa kita tak pernah menyesal.<br /><br />karena waktu adalah semacam peringatan,<br />tentang kini yang hadir dan kelak yang kita tak pernah tahu.<br />seperti gelap yang bersama kita sebelum terang dan sesudah benderang.<br />dan kita adalah laron yang mengerubungi lampu-lampu iklan.</span>ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-86439691048436355052010-12-22T22:18:00.029+07:002010-12-23T22:20:55.463+07:00atras das barras: perjalanan yang tertunda<div style="text-align: justify;font-family:verdana;"><span style="font-weight: bold;font-size:85%;" >I</span><br /><span style="font-size:85%;">Bahia adalah jalanan batu yang tersusun rapi, hamparan gedung baroque berwarna pastel, cahaya temaram, dan musik dan tarian; sama seperti yang tertulis di buku pedoman berpergian. Tidak ada hal baru yang mengejutkan saya selain mengetahui bahwa membawa barang-barang di sudut yang pun tidak terlalu sepi di Bahia dan tetap merasa aman merupakan suatu pengharapan yang berbahaya.</span><br /><br /><span style="font-size:85%;">Magellan -pemandu saya- tampaknya berhasil mengenali kekurangpuasan saya, dan begitulah ia mengajak saya untuk melihat ke sisi lain.</span><br /><br /><span style="font-size:85%;">Dan demikian ia mulai bercerita. Bahwa di balik selimut pasir-pasir putih pantai tersembunyi tapak-tapak yang dalam, mungkin karena memanggul beban terlalu berat, mungkin karena mimpinya direnggut terlalu muda saat belum lagi sempat terlelap. Jajaran pantai itu pernah merengkuh tubuh-tubuh legam mengilap yang didatangkan dari seberang lautan dan menjadi bersedih karena tubuh-tubuh itu membawa serta lebam, darah, dan keputusasaan.</span><br /><br /><span style="font-size:85%;">Saya terlewatkan musim carnaval namun Magellan merupakan penutur yang baik. Ia dapat membuat saya melihat barisan orang dalam balutan warna-warni pakaian serta keriaan yang menari dan menyanyi. Musik Chiclete Com Banana dan Ivete Sangalo bergantian menyerbu telinga. Pasangan bercumbu di pojok yang agak tersembunyi maupun di jalanan. Sedangkan di sisi atas, dari kotak-kotak eksklusif yang sengaja dibuat di sisi gedung yang menghadap ke jalan, beberapa orang rela membayar lebih banyak untuk dapat melihat kegilaan di bawah kaki mereka dengan keamanan dan kenyamanan tetap terjamin.</span><br /><br /><span style="font-size:85%;">Namun carnaval tidak pernah dapat membawa cukup penghiburan bagi sebagian besar warga lokal Bahia; para kaum afro-brazil. Mereka tersisih untuk memberi ruang pesta bagi para penggembira. Di pinggiran kota, beberapa tidur bersisian dengan tempat sampah, juga di bawah lindungan kardus bekas kemasan televisi sebagai atap. Anak-anak mereka mengembara di jalan-jalan mengiba sedikit uang kepada siapapun yang dapat mereka temui. Mereka terlalu angkuh untuk mau tinggal di favela yang dibangun oleh pemerintah. Tetapi tampaknya keangkuhanlah yang menyelamatkan hidup mereka pada hari-hari ini.</span><br /><br /><span style="font-size:85%;">Ternyata ketidakadilan tidak pernah benar-benar pergi dari tempat ini. Ketiadaan kekuatan politik dan ekonomi,serta akses pendidikan bagi kaum berkulit gelap ini menyebabkan para pemuda mereka dibiarkan memelihara mimpi tentang menjadi penyanyi atau pesepakbola; tempat yang masih menyambut keberadaan mereka dengan baik.</span><br /><br /><span style="font-size:85%;">Begitulah gerutu menyelinap di lorong-lorong gelap hingga sampai ke obrolan kopi di ruang keluarga yang selalu muram. Kadang apatis, kadang sarkastis. Dibumbui oleh luka lama yang diderita para leluhur mereka; yang untuk sekian waktu hanyalah merupakan pemikiran beku seperti anak kecil yang meringkuk ketakutan di belakang kepala mereka namun seketika menjadi geram yang membakar ketika terjadi ketidaksepakatan bersama dalam obrolan kopi di malam dengan udara pekat -seperti malam ini. Dan inilah saatnya ketika <span style="font-style: italic;">cocada</span> tidak sanggup menggugah selera saya lagi.</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:85%;" >II</span><br /><span style="font-size:85%;">Perjalanan pun berlanjut ke <span style="font-style: italic;">terreiro</span> di pinggiran kota. Suatu tenda yang menyerupai rumah atau sebaliknya. <span style="font-style: italic;">Pai-de-santo</span>, atau bisa juga disebut pastur <span style="font-style: italic;">terreiro</span> ini boleh saja menggerutu bahwa ia tidak mengakui sinkretisme dalam <span style="font-style: italic;">Candomble</span> -agama yang merupakan simbol pemberontakan kaum tertindas. Namun saya bisa melihat Santo Anthony bersandingan dengan Dewa Xango yang berwarna merah dan putih. Di tempat ini saya menyetujui pernyataan Magellan bahwa <span style="font-style: italic;">Candomble</span> merupakan suatu agama yang kuno dan bijak: untuk dapat memahami kekuatan Dewa Oxossi, maka belajarlah berpikir bahwa ia adalah Santo George.</span><br /><br /><span style="font-size:85%;">Dan kini ritus pun dimulai. <span style="font-style: italic;">Pai-de-santo</span> agak tergesa menyucikan ruangan dengan cerutu yang besar sambil meminta dengan sopan kepada roh penengah untuk tidak mengganggu perayaan mereka. Genderang mengeluarkan ritme yang ganjil mengiringi <span style="font-style: italic;">Pai-de-santo</span> yang membaca bait ritual. Sedangkan di tengah ruang pemujaan, para pria dan wanita mulai menari mengikuti irama. Berharap sangat untuk apa yang disebut Umberto Eco sebagai "dalam pelukan Dewa".</span><br /><br /><span style="font-size:85%;">Saya berada di antara mereka.</span><br /><br /><span style="font-size:85%;">Mata saya menghadap langit-langit. Mencari entah apa. Keringat mengalir di belakang telinga saya hingga leher akibat pergerakan konstan tubuh untuk dapat mengikuti alunan genderang keramat dalam tempo cepat. Saya merasa saya akan gagal setelah melihat pria dan wanita di sekeliling saya mulai melakukan gerakan-gerakan kaku dan saya belum berekstasi. Tatapan mereka yang gelisah dan kejang berkelanjutan semakin membuat saya putus asa. Mereka telah melompati batas dunia lain sedangkan saya di sini sendiri masih mencoba untuk lepas kendali. Dan hingga bagian ritus paling akhir, saya tidak dapat merayakan kekuatan Dewa.</span><br /><br /><span style="font-size:85%;">Saya pun merasa tertipu. <span style="font-style: italic;">Pai-de-santo</span> pada awal perjumpaan mengamati telapak tangan saya dan mengatakan bahwa saya adalah anak Oxala -Dewa tertinggi. Namun kenyataan bahwa Oxala tidak merasuki saya membuat saya merasa terlalu kecewa.</span><br /><br /><span style="font-size:85%;">Sejatinya yang terjadi bukanlah saya kecewa karena merasa dibohongi. Saya kecewa karena saya tidak dapat menjadi bagian dari permainan. Saya agak merindukan masa itu. Masa ketika saya terpukau kepada setiap benda; ketika pelbagai hal tidak dipaksakan masuk ke dalam diri yang luas lagi cekak; ketika saya berpikir bahwa saya adalah apapun yang saya pikirkan.</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:85%;" >III</span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Hell is other people</span>, demikian Sartre mengatakan dalam drama <span style="font-style: italic;">No Exit</span>.</span><br /><br /><span style="font-size:85%;">Garcin, Inez, dan Estelle memang tidak dicampakkan ke kerak neraka dengan panas menggelegak. Mereka hidup di ruangan yang tidak terlalu luas, tanpa jendela, tiada kasur, nihil cermin, dan pintu yang selalu terkunci. Lampu selamanya menyala dan kelopak mata mereka lumpuh hingga berkedip pun merupakan suatu kemewahan. Mereka tidak mampu tidur serta dikutuk untuk selalu mengawasi yang lain dan diawasi oleh yang lain; selalu mengada bagi yang lain. Tak ada privasi, tak ada waktu dan ruang untuk diri sendiri.</span><br /><br /><span style="font-size:85%;">Karakter-karakter dalam peran tersebut berpikir bahwa apapun yang mereka lakukan tidak pernah terlepas dari orang lain. Pikiran dan tindakan dibentuk oleh penilaian orang lain. Segala keinginan diri sering berbaur dengan harapan orang lain yang dilekatkan pada diri.</span><br /><br /><span style="font-size:85%;">Menjadi pahlawan atau pencoleng; suami yang baik walaupun beristrikan tujuh wanita atau istri yang buruk karena menjual diri untuk menghidupi keluarga; kawan atau lawan; kiri atau kanan. Segala rangka penilaian itu didisiplinkan melalui keluarga, tetangga, lembaga agama, sekolah, negara dan pada akhirnya mewujud pada diri melalui cara berpakaian, pilihan pekerjaan, jenis makanan, musik yang didengarkan, segala hal yang disukai dan dibenci karena orang lain menyukai atau membenci hal tersebut.</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:85%;" >IV</span><br /><span style="font-size:85%;">Magellan adalah seorang mantan petinju. Hanya itu yang saya ketahui. Ia lelah menjalani perang orang lain, katanya suatu ketika kepada saya. Keluarganya tidak pernah menerimanya karena menurut mereka tubuhnya ada bersama mereka namun pikirannya ditawan di rumah gila. Mungkin itu sebabnya ia tidak menyingkapkan dirinya; menyimpan dirinya untuk dirinya sendiri. Mungkin itu caranya menyesuaikan diri supaya bisa tetap hidup di antara dirinya dan orang lain. Mungkin itu caranya melalui hari dan malam.</span><br /><br /><span style="font-size:85%;">Dan saya adalah tamu yang hanya singgah tak lama.</span><br /><br /><span style="font-size:85%;">My formula for living is quite simple. I get up in the morning and I go to bed at night. In between, I occupy myself as best I can (Cary Grant)</span></div>ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com13tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-26808405927193009582010-04-19T22:27:00.002+07:002010-04-19T22:34:53.607+07:00neonatalhe not busy being born is busy dying..<br /><br /> -bob dylan-<br /><br /><br />happy birthday, me.. !!ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-55535924808962752782009-09-23T22:48:00.004+07:002009-09-23T23:23:55.006+07:00lempungSi anak yang tidak terlalu beruntung menghardik, "Kembalikan mainanku!".<br />Saat itu baginya apa yang tidak dapat ia peroleh dengan permohonan harus ia raih dengan paksaan.<br />Si anak yang cukup beruntung menggelengkan kepala. Didekapnya apa yang sesungguhnya bukan miliknya lekat ke dadanya. Saat itu baginya apa yang dekat dengan jantungnya adalah miliknya.<br />Ibu si anak yang tidak terlalu beruntung mencengkeram leher anaknya, "Berikan saja padanya!"<br />"Tapi itu milikku", si anak menggugat.<br />"Tidak ada sesuatupun adalah milikmu. Andai pun ada, itu miliknya juga."<br />"Ia sudah punya segala yang aku tidak punya"<br />"Memang sudah sepantasnya begitu. Kau harus ingat siapa kau dan siapa ia."<br />Nenek si anak yang cukup beruntung yang merasa sungguh beruntung karena putranya berhasil menikahi putri dari keluarga yang beruntung pun mengimbuh, "Carilah yang lain. Cucuku menghendakinya, maka jadilah itu miliknya. Carilah yang lain. Aku tahu kau pasti bisa."<br /><br />Dan tiba-tiba saya merasa menyesal.<br />Bukankah ia disebut gerabah karena terbuat dari lempung?ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-63556745032923597502009-06-30T23:14:00.002+07:002009-06-30T23:18:02.654+07:00Pada Sebuah Jalanpada sebuah jalan yang riuh di pusat kota tua saat matahari di barat, orang-orang berduyun menuju sarangnya. semua orang ingin jadi yang pertama tiba, maka mereka berlomba menyalakkan klakson supaya yang lain lekas menyingkir dari jalurnya. begitu resah, begitu tergesa. namun sesungguhnya jalan tak pernah bisa lengang karena tak ada yang bisa mendengar ketika semua orang berbicara.<br /><br />pada sebuah jalan yang keras oleh deraan beban, ada yang menyeret kakinya, kepala tunduk dan tubuh bergerak sendiri. wajah-wajah tanpa nama yang mencoba lari dari hantu korporasi walaupun mereka tahu mereka tak mampu sembunyi. kau selalu dapat menemukan mereka pada saat-saat seperti ini: di perbatasan siang-malam di hari senin hingga jum'at saat matahari hampir jatuh tenggelam dan energi yang mereka punya untuk menyamarkan kekosongan telah padam.<br /><br />pada suatu waktu yang menggilas dengan kejam, kau teringat melongok ke luar kubikalmu dan mendadak kaudapati semuanya berjarak. batu besar berbentuk manusia seperti dejavu tentang ketiadadayaan. tangan tidak terlihat mempermainkan mereka dalam putaran-putaran tanpa akhir. lingkaran pertemanan yang terdampar dengan ketakutan yang serupa. ke mana kita pergi dari sini, tanya mereka.<br /><br />bagaimanapun, aku melihat seorang suci tersimpuh di sisi trotoar. kebaya lusuh dan rambut menyisakan semburat hitam. bayangan penunjuk jalan jatuh atasnya dan ia memandang lurus pada susunan batu berwarna abu. ia seperti dalam lukisan monokrom, namun di parasnya terlihat jelas jejak tangis yang kering. seseorang diam-diam telah merampas hartanya; remah-remah kehidupan yang ia punguti dari hasil menjual sayur dan buah dan umbi jamu.<br /><br />mungkin memang bukan untukku, demikian ia sayup mengatakan pada sebuah jalan di jantung kota tua saat matahari tak lagi pongah bersinar. bukan untuk menghibur diri tapi untuk memastikan bahwa ia tidak kehilangan sesuatupunezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com17tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-8338922812290476952009-05-30T22:40:00.006+07:002009-06-06T17:51:33.695+07:00Di Jalan Panah"Sahaya tidak bisa, dewi ratu. Pilihan sahaya sudah tetap. Pantang bagi sahaya menarik kembali apa yang telah terlontar. Esok semua akan jadi terang di Padang Kuru, apakah sahaya atau Arjuna yang regang memeluk tanah. Sekiranyapun demikian adanya, dewi ratu tetaplah berputra lima"<br /><br />Kunti pun jatuh sedih. Namun, melihat Karna yang teguh, ia tak bisa lebih menyesali polahnya di masa muda yang membawanya pada titik ini. <br /><br />"Dewi ratu tentu tahu, Drona pernah menolak sahaya menjadi muridnya dan Drupadi pernah <br />menampik sahaya yang hendak mengikuti sayembara untuk menjadi suaminya karena sahaya <br />hanyalah seorang sutarata; anak seorang pengendara kereta kuda yang hina. Dan kini ketika <br />sahaya memilih untuk mengabdi kepada Duryodana -lawan tanding dari para Pandawa, Dewi <br />Kunti juga hendak menangisinya?" <br /><br />"Kau adalah anakku, Karna. Kau adalah putra Batara Surya. Kau lahir sebagai ksatria."<br /><p>"Bhargawa mengutuk sahaya karena sahaya memendam sakit akibat gigitan serangga supaya ia yang sedang terlelap di pangkuan sahaya tidak terbangun dengan gerutu. Bhargawa mengutuk sahaya karena untuknya sahaya menjadi ksatria sedangkan padanya sahaya mengaku sebagai brahmana. Lalu apakah sebenarnya arti keksatriaan itu? Mengapa bagi sahaya ia hanya tampak seperti sosok tanpa rupa yang menggelayuti pikiran?<br /></p>"Percayalah, dewi ratu, sahaya sudah mengatasi semesta yang menempatkan sudra di bawah <br />alas kaki; pada undakan terendah. Sahaya tidak lagi berdiri di tataran yang merumuskan <br />manusia berdasar darah ayahbundanya. Segala itu tidak berarti bagi sahaya. Manusia adalah <br />apa yang ia lakukan. Biarlah ia melata di muka bumi atau menjalar di sela-sela bebatu tebing asal tidak diam, mengakar, dan enggan beranjak dari liangnya. Seseorang tidak diciptakan untuk hanya duduk menunggu apa yang telah digariskan di langit. Begitu menyedihkan! Tidak, sahaya bukanlah orang itu. Sahaya adalah tetes air yang melubangi cadas."<br /><br />"Kumohon, urungkanlah! Jika kau tak ingin menghiraukanku sebagai ibumu, dengarkanlah <br />perkataanku sebagai seseorang yang akan sangat bersedih melihat kesetiaanmu ditebus dengan <br />kematianmu di tangan saudaramu."<br /><br />"Dewi ratu, sahaya telah mengosongkan diri dari kecemasan dan ketakbersediaan. Dan pada <br />kehampaan itu sahaya mengisikan kekuatan. Banyak orang menyebutnya keserakahan atau bahkan cinta yang buta. Dan mereka pikir itulah yang akan membunuh sahaya. Namun, dewi ratu, bagi sahaya, kematian bukanlah soal. Bahkan tidak pernah terlintas di benak sahaya untuk gentar menghadapinya. Itu karena sahaya lebih besar daripada itu. Lagipula bagaimana dewi ratu begitu yakin bahwa sahayalah yang akan mati? Ingatlah bahwa Arjuna punya peluang tumbang yang sama."<br /><br />"Tidakkah dewi ratu ingat saat ketika dewi melarung sahaya ke aliran sungai Aswa? Mungkin <br />saat itu dewi berpikir bahwa adalah mustahil mempunyai anak tanpa terlebih dahulu mengikat <br />janji suci pernikahan. Dan kini sahaya mengikuti jejak dewi ratu; sahaya melarung jiwa sahaya ke medan perang. Karena bagi sahaya adalah mustahil untuk mencapai tujuan tanpa adanya pengorbanan; tanpa penyerahan diri sepenuhnya."<br /><br />Dan pada hari ketujuhbelas Perang Baratayudha, saat matahari di puncak kepala dan debu <br />meninggi oleh derap-derap kereta kuda, saling berhadapan Arjuna -putra tengah pandawa- dan <br />Karna. Ketika Arjuna membidik dengan Pasupati, kereta Karna terperosok ke dalam lumpur. <br />Ingin lepas dari keterdesakan, Karna merapal mantra untuk membebaskan roda keretanya dari <br />jeratan lumpur. Namun, kutukan Bhargawa bekerja, ia mendadak silap pada semua ilmu yang <br />telah ia serap dari Bhargawa. Dalam saat-saat menentukan, Arjuna melesatkan panah yang <br />menetak leher Karna; ia gugur. Dan langit menggelap. Gemuruh pun mengiringi jiwa yang <br />tercerabut dari raga.<br /><br />Kunti tahu bahwa putranya telah padam, seperti bara yang habis. Dalam kesedihan mendalam, <br />ia teringat pada masa silam. Ia ingat bahwa ia, Kunti yang cantik beroleh berkah mantra <br />Adityahredaya. Ia juga ingat bahwa ia, Kunti yang berbakti mendapat murka dari Dewa Surya <br />karena menggunakan mantra itu sebagai mainan. Ia ingat pula bahwa ia, Kunti yang terlampau <br />belia tak sanggup menanggung beban seorang anak dalam kandungannya sebagai hukuman <br />sedangkan ia tidaklah bersuami. Ia pun ingat bahwa ia, Kunti yang ceroboh menempatkan <br />putranya yang sejak lahir berzirah dan beranting di satu telinga itu ke dalam keranjang <br />kemudian menghanyutkannya ke sungai Aswa.<br /><br />Perang di Kurusetra akhirnya usai pada hari kedelapanbelas dengan kemenangan di pihak <br />Pandawa. Namun tetap saja perang itu tidak dapat lepas dari darah yang menggenang, <br />tubuh-tubuh teronggok, dan gaung kedukaan. Adakah segala yang telah diupayakan hanya <br />melahirkan kesia-siaan?<br /><br />Mengapa berperang? Apakah yang diperangi? Pada pertanyaan itu Karna menghadapkan wajahnya. Baginya perang bukanlah soal siapa yang tewas dan siapa yang terus hidup; bukan tentang siapa yang berjaya dan siapa yang menangis. Pertempuran yang sebenarnya terjadi di dalam diri. Pada setiap panah yang mengarah kepadanya, ia mengukuhkan diri. Dan begitulah <br />bagaimana dirinya menjadi.<br /><br />Dalam perjalanannya, ia harus memilih pihak. Ia menentukan jalannya dan kemudian kukuh <br />menapakinya. Ia berangkat dengan kesadaran penuh dan terus-menerus menempa diri agar jalan itu mengantarkannya dari "bukan apa-apa" menjadi "segalanya". Ketekunan menempuh jalan akan membawa sang pejalan melebur dengan jalan, demikian dikatakan. Dan pada akhirnya perjuangan akan mendapatkan makna.ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com19tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-27227115768624165432009-05-21T23:42:00.003+07:002009-05-22T00:10:00.959+07:00Tentang GelapPekat. Dalam ketiadaan cahaya, tak ada yang terlihat. Tunggu satu detik, lima detik, tiga menit, mungkin mata ini sedang berusaha menyesuaikan diri. Tidak berhasil. Ternyata tubuh ini tidak semenakjubkan itu.<br /><br />Adakah orang lain di sini? Adakah wujud lain saat ini? Aku tidak dapat merasakan kehadiran <br />energi di luar diri. Bahkan belakang leherku tidak meremang. Mungkinkah alarm alami tubuhku pun ikut berkhianat? Aku sendiri -atau setidaknya itu yang kukira.<br /><br />Mendenguslah, mencicitlah. Cubit lenganku atau tampar saja pipi kiriku. Bahkan bila kau <br />meruapkan bau busuk sekalipun, aku takkan mencegahmu. Bagiku pengetahuan akan keberadaanmu lebih penting. Karena kegelapan hanya akan membuatku berpikir bahwa selama aku tidak bisa melihatmu, maka kau pun begitu.<br /><br /><br />Berbohonglah padanya. Kadang kebenaran tidak tertanggungkan.<br />Katakan bukan yang sesungguhnya. Kadang kebenaran itu perih.<br />Kadang ketidaktahuan membuat nyaman. Kau tidak ingin tahu apa yang mereka lakukan pada <br />balok es yang besar itu sebelum mereka memasukkannya ke dalam segelas air jerukmu untuk <br />menjadikannya dingin.<br />Nyaman.. tapi gelap.ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com17tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-68661223406332332272009-04-29T01:15:00.005+07:002009-04-29T01:34:43.888+07:00Kukirimkan Padamukukirimkan padamu kartu pos bergambar, istriku, <br />par avion: <br />sebuah taman kota, rumputan dan bunga-bunga, <br />bangku dan beberapa orang tua, <br />burung-burung merpati dan langit yang entah batasnya. <br /><br />aku, tentu saja, tak ada di antara mereka. <br />namun ada. <br /><p></p><p>(Sapardi Djoko Damono)<br /></p><br />alif : you and your morning breath<br />ba : you and your midnight meal<br />tsa : how about your mood swing?<br />jim : it reminds me of your me-time<br />ha : you define impulsiveness better<br />kha : you always love the concept of reciprocity<br />dal : you’re like a millenium’s Noah<br />dzal : you’re really a thousand years old rock<br />ro : i don't want to be your babysitter<br />zai : i’m not your mother<br />sin : you gotta be tough to make it today<br />syin : you do it your way and not how they say<br /><br />The Beatles : i wanna hold your hand....ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com27tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-71786365782005818342009-04-20T22:28:00.002+07:002009-04-21T01:56:00.222+07:00Post-mortem<p><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_jd2eV336RLc/Sey_Rvz_a1I/AAAAAAAAAEQ/QSI-LrbWfOc/s1600-h/NYC37762.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 221px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_jd2eV336RLc/Sey_Rvz_a1I/AAAAAAAAAEQ/QSI-LrbWfOc/s320/NYC37762.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5326842770885667666" /></a></p><p>Bayangkan matamu terpejam, kau sedang tidur —di rumah, di antara tumpukan pekerjaan kantor, atau di ranjang empuk yang tidak pernah nyaman di Rumah Sakit; di tengah menonton <br />pertandingan sepakbola di televisi, saat mendengar khotib sedang membacakan khotbah, dalam <br />perjalanan dinas ke luar kota, saat lelah menunggu kereta datang, atau ketika dalam pelukan <br />yang terkasih. Saat itu kantuk menguasaimu. Kelopak matamu mengatup dan kau pun lelap.<br /><br />Sekarang bayangkan bahwa ini lebih dari sekedar tidur biasa. Kau tidur lebih dalam dan lebih <br />jauh. Lukiskan dalam benakmu suatu keadaan ketika kau tidak akan bangun kembali; kau mati. <br />Ini adalah hari terakhirmu karena masa tinggalmu di dunia sudah usai. Dan ini adalah <br />perjalananmu mengalami kematian —lebih tepatnya beberapa saat sebelum kematian menjelang.<br /><br />Tentu saja ada banyak cara bagi kematian untuk menjemputmu. Ia bisa datang melalui sakit yang terus menerus menderamu, akibat kecelakaan yang malang, atau lewat tangan yang sengaja merampokmu sebelum membunuhmu. Namun kita tidak ingin membicarakan tentang mengakhiri hidup kita sendiri di sini. Kematian tidak seharusnya menjadi sesuatu yang bisa kauputuskan. Kita membicarakan tentang maut yang tidak bisa dihindari yang berasal dari kehendak di luar diri kita; keinginan yang menuntut untuk dipenuhi.<br /><br />Saat ini denyutmu mulai melemah, inderamu perlahan kehilangan ketajamannya. Kau tak ubahnya seperti bayi; terperangkap di dalam tubuhmu. Satu-satunya perbedaan adalah pada waktu bayi, tubuhmu bertindak sebagai penunda: ia berulangkali mengatakan "belum saatnya". Sedangkan saat menuju kematian, tubuhmu adalah penanda yang terus mengatakan "sudah saatnya". Tubuhmu tak mampu lagi menyokong kehidupan. <br /><br />Yang terjadi berikutnya adalah seluruh bagian dirimu menyatu; kau meluruh. Kau terlepas dari <br />ikatan tubuh. Tak ada dinding yang membatasi, tak ada alas maupun atap, tak ada atas maupun <br />bawah. Kau tidak terikat gravitasi hingga kau tidak mendarat namun sekaligus tidak melayang. <br />Kau terbebas dari dimensi; kau tidak terbelenggu ruang dan waktu. Kau menjelma menjadi hanya sebuah entitas.<br /><br />Banyak buku bercerita tentang seberkas cahaya putih nan terang yang sedia menyambutmu. <br />Seraut wajah asing yang disebut malaikat kemudian akan mendekatimu dengan lembut dan tenang. Tepat pada saat ini sebagian orang —mungkin juga kau— akan dilanda kebimbangan hebat: sebagian dirimu enggan berpisah dengan semua yang kau cintai, kau murung dan sedih <br />meninggalkan semua itu di belakangmu; namun ketika malaikat meniupkan sapuan ajaib ke kedua matamu dan tiba-tiba kau melihat dunia baru yang gemilang berhamburan ribuan warna <br />terbentang di hadapanmu, sebagian dirimu yang lain dipenuhi luapan kekaguman, keheranan dan keingintahuan atas ciptaan Tuhan itu hingga kau tidak sabar ingin segera bebas dari tubuhmu.<br /><br />Terpikir oleh saya tulisan Goenawan Mohamad yang menukil sebaris sajak Subagio Sastrowardojo: ”Kematian hanya selaput/gagasan yang gampang diseberangi”. Kematian begitu <br />dekat, batasnya setipis jaring laba-laba yang mudah koyak. Satu detik kau adalah si hebat, di detik berikutnya kau tiba-tiba tak berdaya. Jadi, bila kematian begitu akrab, tidakkah kita seharusnya bukan hanya makhluk yang menyadari potensi, tapi juga impotensi diri?<br /><br />Saya terkenang sebuah film berjudul Instinct. Di salah satu adegan digambarkan seorang <br />antropolog bernama Dr. Ethan Powell —yang dituduh telah membunuh dan mencederai beberapa anggota Polisi Hutan— tengah mencekik dari belakang Dr. Theo Caulder —seorang psikiater muda cerdas yang ditugaskan untuk mencari tahu alasan di balik pembunuhan tersebut. Dr. Powell kemudian bertanya kepada sang psikiater, "Apakah yang kurenggut darimu sekarang?" Dua jawaban pertama Dr. Caulder yaitu "kendali" dan "kebebasan" langsung dimentahkan oleh Dr. Powell. Hingga akhirnya pada saat genting sebelum mati tercekik, Dr. Caulder dapat menuliskan jawaban yang memuaskan si pencekik, yakni "ilusi".<br /><br />Kita tidak pernah benar-benar bisa memegang kendali sebagaimana kita tidak pernah benar-benar bebas. Bahkan tubuh ini tidak benar-benar kita miliki. Kita hanya suka berpikir bahwa kita menggenggam semuanya di telapak tangan kita. Kita memelihara ilusi di kepala kita. Kita sering kali tidak menyadarinya sebelum kita benar-benar mati.<br /><br />Sesungguhnya hidup pada akhirnya terbatas. Bahkan untuk Superman pun ada cryptonite. Ada <br />jarak yang tak dapat ditempuh, ada beban yang melebihi yang dapat kita tanggung. Kadang kita <br />perlu mengakui bahwa kita tidak tahu dan tidak mampu sehingga kita tidak terlalu gusar ketika banyak hal yang berjalan tidak sesuai keinginan. </p><p>Kesadaran akan impotensi itu adalah juga sebuah potensi. Dan hidup pun akan berlanjut. Lebih banyak menerima, lebih sedikit takut, dan akan lebih ada ruang bebas di atas kebutuhan akan kekuasaan.<br /><br /></p>ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com24tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-82943019577276276342009-04-11T02:26:00.004+07:002009-04-15T09:54:30.352+07:00Ode, Aubade, Elegi Tanggal Limabelas(1)<br />aku kesepian makanya aku pergi ke telaga<br />ketika tiba, kudapati pemandangan mempesona<br />di muka airnya kulihat sebentuk sabit berwarna kuarsa<br />kupikir-pikir dia persis gambar senyum di sampul buku tulisku<br />pasti dia bakal jadi teman yang lucu<br /><br />aku lari pulang mau ambil stoples<br />lalu lari lagi cepat-cepat kembali padanya<br />pokoknya dia harus jadi milikku<br />punyaku seorang<br />dan stoples ini akan jadi rumahnya<br /><br />aku mengendap mendekatinya<br />jangan berisik, nanti dia hilang<br />tapi kau teruslah bernyanyi, kodok<br />supaya dia tidak dengar kakiku yang menginjak dedaun kering<br /><br />hap! sekali kayuh dia kutangkap<br />stoples pun kututup rapat-rapat<br />tapi kok cuma ada air di dalamnya?<br />ah, mungkin dia masih malu<br /><br />aku lalu pergi ke gunung<br />kulangkahi sungai, kuterobos hutan<br />mendaki itu memang berat<br />tapi ada dia di gendongan membuatku terus semangat<br /><br />sesampai di atas, kukumpulkan batu-batu<br />yang besar sama besar, kecil sama kecil <br />kususun-susun, kubuat sebuah kuil <br />di tumpuk paling puncak, kutaruh stoples itu<br />yang cantik pantasnya ya di pucuk gunung<br />biar untuk mencapainya harus terseok-seok terbungkuk-bungkuk<br /><br />ayam berkoar tanda sudah fajar<br />ya ampun, aku kan harus pergi ke ladang<br />lekas-lekas ku turun gunung<br />tapi sebelum pergi, untuknya kutinggalkan senyum<br />"aku janji akan sering ke sini"<br />apalagi kalau diri ini sedang sepi lagi<br /><br />(2)<br />hati senang bukan kepalang<br />malam ini aku akan ketemu dia lagi<br />maaf, aku sudah lama tidak datang<br />aku capek kerja di ladang<br /><br />hah, dimana dia?<br />stoplesnya ada, tapi dia lenyap<br />adakah pencuri?<br />atau dia melarikan diri?<br /><br />buru-buru aku ngebut ke telaga<br />kalau beruntung mungkin dia masih di sana<br />ternyata usahaku tidak sia-sia<br />di muka air dia menyapa<br /><br />eh, itu bukan dia<br />mirip dia tapi bukan dia<br />kepalanya benjol dan tersenyum pun enggan<br />tapi ah, peduli setan<br />saat ini aku cuma butuh teman<br /><br />kutangkap lagi<br />kumasukkan stoples lagi<br />kututup rapat lagi<br />kuantar ke gunung lagi<br /><br />kuil segera kubongkar<br />lalu kugali lubang yang tidak dalam<br />di liang itu dia bersemayam<br />atasnya pun kutumpuki batu biar aman<br />"besok aku ke sini", janjiku<br /><br />(3)<br />huh, pekerjaan ini bisa bikin aku sakit ayan<br />tapi toh tiap hari tetap jua kulakukan<br />karena si amir sudah punya sapi enam<br />si beno bisa bikin rumah gedong lapis pualam<br />si candil kepengnya sampai berpeti-peti<br />jangan tanya lagi, ini soal gengsi, bung! <br /><br />sial, lagi-lagi aku lupa<br />entah sudah berapa hari aku alpa<br />dia pasti cemberut menungguku<br />bisa-bisa dia nanti hilang lagi<br /><br />dugaanku memang benar<br />kali ini dia marah besar<br />bahkan air dalam stoples pun tiada<br />padahal berani sumpah stoples kututup rapat<br />dan batu-batu di atasnya kutumpuk padat<br /><br />hatiku hancur<br />tulangku lunglai, badanku rebah<br />tapi eh, tidak disangka-sangka<br />ada kejutan untukku di langit <br />dia di atas sana dalam bulat penuh<br />memang bukan senyumnya tapi aku yakin itulah dia<br />dia tak bisa lagi lebih sempurna<br />kurasakan harapanku kembali terbit<br /><br />aku benar-benar terpana<br />bulu matanya lentik, pipinya emas<br />parasnya cantik tapi matanya menjeling<br />katanya, "aku bukan engkau yang cuma janji melulu"<br /><br />aku ingat malam itu tanggal limabelas<br />aku juga tak lupa dalam hati aku bersumpah:<br />"takkan lagi tanggal limabelas aku pergi keluar rumah"ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com13tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-10936194952268425152009-04-02T23:38:00.017+07:002009-04-08T22:45:02.263+07:00Punchdrunk<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_jd2eV336RLc/SdTx2g_GgHI/AAAAAAAAADo/bwfB61ieOXg/s1600-h/PAR183617.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 228px; height: 320px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_jd2eV336RLc/SdTx2g_GgHI/AAAAAAAAADo/bwfB61ieOXg/s320/PAR183617.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5320142978701230194" /></a><br /><p>Lagu yang muram diperdengarkan. Nada-nada minor diiringi gesekan biola dan denting piano satu-satu. Suara mendengung gabungan antara gumam doa dan rintih tertahan. Gambar gerak yang bisu dan gelap dibalut warna dari dimensi lain. Setiap gambar mewakili kesedihan yang merayap dalam gerak lambat. Begitu lambat hingga seperti sesuatu yang menusuk pelan-pelan; kesakitan yang perlahan. Tema hari ini adalah hari yang buruk.</p>"<em>OK, I've got the message</em>."<br />"Tunggu, kau belum melihat semuanya. Lihat yang ini!"<br /><br />Kamera sekarang sudah benar-benar berada di pusat lingkaran peristiwa; tempat di mana semua itu terjadi. Kamerawan menangkap gambar air kecoklatan yang mengalir di jalannya, tanah becek dan kaki-kaki yang menginjakinya, serta kerumunan yang murung. Sementara di sisi lain ada tembok yang menyisakan rangka-rangka, bangkai ikan, batang pohon yang berdesakan bergelindingan, lumpur, rak piring, mobil terguling, buku-buku dan kitab suci, lumpur, mayat menggembung, sandal jepit, kasur, televisi, topi sekolah, dan lumpur. Semua itu terekam dalam intensitas tinggi. Itu karena kamerawan tak pernah lalai memperbesar gambarnya sesekali seraya mengatur fokus lensa dan menyesuaikan cahaya. Ia tak ingin kehilangan ketajaman. Gambar harus dihadirkan dengan kekerasan yang sama dan tanpa belas kasih. Ia sungguh merasa sedang mengemban tugas mulia. Di pedalamannya saat itu sedang berkecamuk kengerian dan kepuasan. Tempat itu adalah tempat di mana suatu kabar menjelma menjadi kabar buruk untuk sebagian orang dan kabar baik untuk sebagian yang lain.<br /><br />"Aku sudah mengerti maksudnya. Bisa kita pergi sekarang?", aku berkeras.<br />"Tidak sebelum kau melihat yang ini."<br /><br />Masih gambar yang sama, hanya sekarang ditemani oleh narasi. Seorang reporter pria dengan <br />suara rendah berusaha memberikan emosi dalam bicaranya. Ia bertanya kepada seorang wanita tua tentang bagaimana perasaannya saat itu. Dalam bingkai gambar, pria itu layaknya seorang <br />Romo yang siap menyimakmu di bilik pengakuan dosa. "Keluarkan semua, anakku. Lepaskanlah!", demikian tatapannya mengatakan. Sang wanita pun menyerah hingga akhirnya menjawab dalam kepiluan. Tepat saat itu pula kamera memindahkan fokusnya hanya pada wanita itu. Begitu dekat hingga kau dapat melihat kantong mata, kemerut di sudut bibir, bintil-bintil di leher dan tentu saja air yang mengalir dari kedua matanya. Saat itu adalah saat ketika keperihan digandakan dan kedukaan diperbesar ratusan kali. Kesedihan dikemas sedemikian rupa sebagai alat untuk memanipulasi pikiran. Dan semua itu terdedah di depan mata kita. Direproduksi untuk dinikmati di rumah.<br /><br />"Baiklah, sudah selesai. Kau tadi bilang kau sudah dapat pesannya?"<br />"Lupakan. Aku sepertinya ingin menangis sekarang."<br />Dia tersenyum dan menepuk-nepuk punggungku seolah mengatakan, "aku mengerti perasaanmu."<br />Kami mulai beranjak sebelum dia mengatakan, "hey, kau menonton Termenye-menye episode <br />kemarin?"<br />"Tidak", jawabku. "Tapi mungkin aku akan mulai melihatnya minggu depan."<br /><br />Dan Umberto Eco menyebut Hiperrealitas sebagai "kepalsuan yang otentik". Mungkinkah saat itu ia sedang menonton siaran televisi Indonesia?ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com10tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-70068149901237911002009-03-24T02:00:00.008+07:002009-04-04T23:56:24.138+07:00Aku adalah Sebatang Pohon<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_jd2eV336RLc/Scff1f_h9CI/AAAAAAAAADg/tY94R36Jsn0/s1600-h/tree.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 210px; height: 320px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_jd2eV336RLc/Scff1f_h9CI/AAAAAAAAADg/tY94R36Jsn0/s320/tree.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5316463995348186146" /></a><br />Aku adalah pohon beringin. Batangku rindang dan daunku rimbun. Di belakangku ada kali yang berwarna kehitaman. Di dekatku ada sebuah kampung. Sudah lebih tujuh tahun aku mengawasinya bertumbuh.<br /><br />Di tubuhku ada pahatan nama seseorang, gambar hati tertusuk anak panah, dan nama kekasihnya. Di tubuhku juga seorang bocah menyandarkan dahinya sambil menutup mata dan mulai berhitung dari satu sampai sepuluh ketika sedang bermain bersama teman-temannya. Namun tubuhku juga digunakan untuk memasang gambar seorang terhormat yang memakai peci, jas berwarna, dan dasi. Mereka menggunakan paku dan palu, aku hanya bisa menahan sakit. Belum lagi ketika tengah malam diam-diam ada seseorang yang duduk bersila di hadapanku sambil berkomat-kamit. Oh, semua keramaian ini dan aku masih merasa kesepian. Karena itu aku sering menangis.<br /><br />Semenjak aku mulai menangis, semakin banyak orang yang datang mengunjungiku. Sebagian besar mereka menampung air mataku untuk dibawa pulang. Mereka dibawa ke tempatku oleh cerita dari mulut ke telinga. Satu mulut ke satu telinga dan begitu seterusnya hingga aku menyadari bahwa cukup banyak kepala di sini untuk dapat disebut ramai. Mereka bilang air mataku berkhasiat. Aku tidak tahu apakah aku harus merasa bahagia. Kalau aku bahagia, apakah aku masih akan terus menangis?<br /><br />Namun semuanya berubah ketika ia —yang menyapihku sejak aku lahir— ingin membunuhku. Ia menganggap aku telah membuat orang-orang itu berpaling dari Tuhannya. Alih-alih memohon pada Yang Maha Kuasa, orang-orang itu meminta pertolongan kepadaku. Dan itu membuatnya murka. Ia pun lalu menahbiskan dirinya sebagai laskar yang menyucikan agama dan oleh karenanya menghalalkan kematian bagiku yang dianggap berhala. <br /><br />Sungguh, Tuhan, ketika ia mengirimkan padaku kematian yang cepat melalui gergaji mesin, aku <br />bertanya-tanya apakah kami berdua berbicara tentang Tuhan yang sama; niat baik yang sama.<br /><br />Aku memang sudah mati, namun aku belum moksa. Sukmaku melayang-layang. Aku bisa melihat potongan tubuhku di sana masih mencucurkan air. Mungkinkah bumi ikut berduka? Atau memang orang-orang itu tidak belajar ilmu hayat hingga tidak mengetahui bahwa pohon seperti aku merupakan penyimpan air yang baik.<br /><p>Ketika aku mati, benakku membuka diri pada suara-suara dan keributan di dunia. Aku mendengar banyak cerita. Banyak yang sekedar ocehan tidak bermakna, namun ada juga yang membuatku penuh oleh awan-awan pertanyaan. Maka pandanglah aku sebagaimana kau akan kehilangan hidupmu jika kau berkedip, karena aku akan menceritakannya padamu.<br /></p><ol><li>Aku mendapati bahwa baik orang yang memberi sajian berupa kembang dan kemenyan di mukaku maupun orang yang membunuhku sama-sama menganggap aku sebagai objek. Aku hanyalah simbol. Bagi golongan pertama, aku merupakan perlambangan sesuatu yang ingin mereka rengkuh. Sedangkan bagi golongan kedua, aku adalah perlambangan sesuatu yang ingin mereka tolak. Mereka menganggap aku tidak punya kehidupan sendiri.</li><li>Aku mendengar tentang perempuan-perempuan yang harus menggunakan selubung yang menutupi ubun-ubun sampai tumit untuk menghindari keambrukan moralitas. Aku juga mengetahui tentang upaya untuk membendung bahaya laten komunisme dengan cara memukuli mahasiswa-mahasiswa yang sedang berdiskusi tentang marxisme. Aku melihat ada benang tertentu di sini yang berkaitan dengan kemalangan yang menimpaku. Aku merasakan kehadiran suatu pola: untuk meniadakan musuh, mata kita harus dibutakan. Karena sesuatu itu ada hanya bila ia dapat dilihat.</li><li>Aku berpikir tentang masa depan: suatu masa ketika Tuhan mengusap kepala hamba-Nya dengan tangan-Nya yang keriput; masa ketika Ia tidak lagi menampakkan diri melalui karya agung-Nya; masa ketika kau hanya perlu memejam dalam lima hitungan dan ketika kau membuka mata, di hadapanmu sudah ada mobil yang kaudamba atau kekasih hati yang kaucari melalui doa. Di masa itu, aku yakin kau tidak akan memerlukan teman yang menghibur ketika susah dan sahabat yang mendengar saat kau berkeluh sebagaimana kau tidak memerlukan dokter, petani, insinyur, pilot, guru, atau sebatang pohon yang menyimpan air murni yang terbebas dari kuman dan zat pengotor lain karena kau percaya pada kasih Tuhan yang akan mendatangimu langsung seperti petir yang menyambar di atas kepalamu.</li></ol><p>Tuhan, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu.<br /></p><p>Aku adalah sebatang pohon. Aku mengada di antara petak-petak batu, di pinggir kali, di <br />pematang sawah, di taman suatu komplek perumahan, di halaman sekolah, di lembah basah, di <br />padang gersang, bahkan sebagai tunas dari biji buah yang kaubuang sembarang. Aku menjadi <br />tempat burung-burung bersarang dan singgah. Aku merupakan sumber makanan bagi serangga dan bentuk kehidupan lainnya. Aku menjadi wahana permainan bagi anak-anak yang gemar memanjat. Aku akan selalu mewujud kembali bahkan jika kau terus menumpasku. <br /><br />Aku percaya bahwa aku diciptakan untuk suatu alasan. Yang suci dan penting bagiku adalah <br />menjadi bagian dari keindahan, kerja, dan kehidupan. Dan dengan demikian bukankah aku <br />merupakan perpanjangan tangan Tuhan?<br /></p><p><em>related article:<br /><a href="http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/03/17/07273072/Beringin.Sakti.Ditebang.Lagi..Warga.Kecewa">http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/03/17/07273072/Beringin.Sakti.Ditebang.Lagi..Warga.Kecewa</a><br /><a href="http://jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=73674">http://jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=73674</a><br /></em><br /></p>ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com19tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-65024120281570252882009-03-17T02:53:00.007+07:002009-03-17T12:55:45.780+07:00flannel<em>Today's Word of Dictionary: flannel<br /><br /></em><strong>flannel</strong> /‘flænl/ <em>noun</em> [U] (BrE, informal): <em>words that do not have much meaning and that <br />avoid telling sb what they want to know<br /><br /></em>Di sebuah studio milik stasiun televisi swasta lama tapi baru yang mendedikasikan dirinya <br />untuk berita dan informasi, suatu acara debat digelar. Karena Pemilihan Umum sedang <br />menjelang, maka debat kali ini menghadirkan para calon anggota legislatif dengan benderanya <br />masing-masing. Jika anda menganggap bahwa para caleg itu adalah orang-orang yang gemar <br />memamerkan gambar diri mereka di tepi jalan dengan harapan agar semua orang yang melalui <br />jalan tersebut dapat melihat mereka, anda baru separuh benar. Tetapi tahukah anda bahwa para caleg itu juga adalah orang-orang yang akan mewakili kita mengawasi jalannya pemerintahan dan memastikan negeri ini tetap pada jalurnya?<br /><br />Diskusi sedang membahas permasalahan ekonomi ketika seorang caleg mengemukakan isu tentang kekayaan alam Indonesia yang sebagian besar dikuasai oleh pihak asing dan mengakhiri <br />argumennya dengan lantang menyatakan, "Itu menandakan bahwa nasionalisme kita sudah luntur."<br /><br />Tuan yang terhormat, saya memahami sepenuhnya bahwa anda berada dalam posisi yang sulit. <br />Anda yang saat ini menjabat sebagai anggota dewan masih ingin duduk di kursi yang sama untuk lima tahun kedepan, sedangkan Pemilihan Umum tahun ini menggunakan sistem suara terbanyak. Hal ini berarti anda harus mengerahkan upaya ekstra keras untuk mengungguli calon-calon lainnya. Maka sekarang, di depan sorotan kamera televisi dan di tengah tatapan ribuan pasang mata, anda berusaha untuk menampilkan sisi terbaik dari diri anda. Harus ada percikan di sini untuk menarik perhatian. Saya pikir itulah sebabnya anda mengatakan bahwa kekayaan Indonesia yang lari ke luar negeri merupakan indikator lunturnya nasionalisme kita. <br /><br />Sebelumnya, mari kita segarkan ingatan kita kembali. Anda tentu tahu sebagaimana kita semua <br />tahu, Tuan, bahwa perusahaan-perusahaan milik negara tidak banyak berkembang dari sejak <br />mereka pertama didirikan. Manajemen yang buruk selalu menghasilkan kinerja yang buruk. <br />Negara dibebani oleh hutang-hutang perusahaan nasional yang merugi tapi tidak merasa merugi. Keuntungan yang diperoleh dari perusahaan strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak hanya berputar di lingkaran pejabat dan tidak pernah dinikmati oleh rakyat bawah. Negeri ini kaya namun senantiasa miskin.<br /><br />Sekarang marilah kita kembali kepada konsep nasionalisme anda. Tolong koreksi saya bila saya <br />memang salah, Tuan, namun sejauh yang dapat saya cerna, nasionalisme versi anda itu berarti <br />mencintai bangsa sendiri. Itu memang konsep yang mulia. Namun anda harus berhati-hati, Tuan wakil rakyat, karena Adolf Hitler juga menggunakan pemikiran serupa ketika melakukan <br />genosida. Dan pertanyaan saya adalah apakah anda akan merasa lebih baik mengetahui bahwa <br />ternyata kekayaan bangsa kita tidak hanya lari keluar negeri tetapi juga dijarah oleh mereka <br />yang duduk di kursi tinggi di ruang berpendingin udara yang mengendalikan perusahaan-perusahaan negara? Apakah menurut anda pencurian itu boleh saja dilakukan karena toh mereka juga putra bangsa? Apakah menurut anda kita harus merelakan harta kita dikangkangi oleh kaki mereka yang gembul karena mereka dulu sewaktu bersekolah juga menghormat kepada Sang Saka Merah Putih? Bukankah itu nasionalisme, Tuan?<br /><br />Tuan, apakah anda mengenal Femke den Haas? Pada saat satwa-satwa langka disita di Bandara <br />Soekarno-Hatta, Jakarta, maka wanita Belanda inilah yang selanjutnya bertanggung jawab untuk menangani masalah ini dengan membawanya ke lokasi Pusat Penyelamat Satwa di Tegal Alur, Jakarta Barat. Ia merupakan anggota lembaga penyelamat satwa Gibbon Foundation yang memutuskan untuk menghentikan bantuan dana sekitar Rp 500 miliar untuk membantu penyelamatan satwa di Indonesia karena Pemerintah Indonesia sendiri nyaris tidak berbuat apa-apa untuk menyelamatkan kekayaan satwanya. Femke malah terheran-heran ketika sejumlah pejabat pemerintah justru memakai "topi" perusahaan kelapa sawit ketika berbicara dengan dia. Kini ia bergabung bersama International Animal Rescue dan berkonsentrasi untuk meyelamatkan elang bondol yang hampir punah di Kepulauan Seribu.<br /><br />Bagaimana dengan Walter Angst? Apakah Tuan mengenalnya? Ia adalah seorang Jerman yang juga pemerhati dan kolektor wayang. Jangan cuma tanyakan padanya cerita tentang Perang <br />Baratayudha, mintalah ia bercerita tentang Wahyu Makutoromo dan Astabrata. Ia bahkan <br />menguasai falsafah berbagai gunungan dalam pertunjukan wayang. Walter Angst juga sulit <br />memahami alasan penolakan seorang pejabat Hankam dengan pangkat yang cukup tinggi terhadap pengenalan wayang di sekolah. Sang pejabat beralasan bahwa wayang hanya mengajarkan feodalisme.<br /><br />Selain Femke dan Walter, masih ada suster Gisella Borowka yang mengabdikan dirinya bagi para penderita lepra di Nusa tenggara Timur. Saran terbaik saya adalah cobalah Tuan berbicara <br />kepada orang-orang seperti mereka. Mereka juga berbahasa Indonesia seperti kita. Namun <br />bedanya, mereka tidak membicarakan nasionalisme sebagai komoditas politik. Setelah Tuan <br />melakukan itu, kita lihat bagaimana Tuan memandang nasionalisme. Saya pikir anda terlalu <br />lama berkutat di dalam gedung itu, Tuan. Sejernih apapun pikiran anda, masih ada kerbau-kerbau yang akan mencipratkan lumpur ke anda. <br /><br />Tuan yang mulia, cobalah sejenak melangkah keluar dari gedung kura-kura itu. Cobalah anda <br />pergi melalui pagar besi yang makin tinggi itu dan berjalan meniti trotoar hingga ke pelosok gang. Cobalah berbicara dengan lebih banyak orang, terutama rakyat yang sering dihadapkan pada kenyataan pahit yang sungguh-sungguh terjadi di negeri kita. Lakukanlah itu, Tuan. Karena sekarang bagi kami Tuan hanyalah seperti seseorang yang berang ketika motif batik kita diaku oleh negara tetangga, tetapi ketika Tuan diwajibkan memakai baju batik satu hari dalam seminggu, Tuan patuh —dalam gerutu.<br /><br />Nasionalisme bukan hanya tentang merasa disatukan karena adanya persamaan, Tuan. Menurut Goenawan Mohamad, nasionalisme juga membebaskan dan membangun. Dan bukankah tidak ada yang lebih baik daripada mulai membangun diri kita sendiri?<p>P.S. : <em>i know i've made a promise not to talk anything about politic, but this is just too much</em><br />P.P.S. : <em>don't bother, it's just me yawning</em><br /><br /></p>ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-56187449075148204512009-03-08T00:44:00.006+07:002009-03-10T00:02:20.172+07:00Kamu Bau Rumah<p><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_jd2eV336RLc/SbKy9CLuJSI/AAAAAAAAAC4/-ydyHLfIcs4/s1600-h/NYC15106.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 269px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_jd2eV336RLc/SbKy9CLuJSI/AAAAAAAAAC4/-ydyHLfIcs4/s400/NYC15106.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5310503672251032866" /></a></p><p>Kamu adalah hujan yang jatuh di punggung gunung. Orang-orang di balik selimut bergelung. <br />Pria yang duduk dekat perapian bertanya tentang bagaimana-jika. Wanita yang memandang <br />keluar jendela kepada rintik air. Tanah basah dan pohon pinus. Kabut menggantung. Ucapan <br />terimakasih.<br /><br />Aku adalah burung pembosan. Aku sangat ingin pergi liburan.<br /><br />Dia adalah matahari pantai yang memandikan tubuh-tubuh telanjang. Anak-anak yang berlarian menerbangkan layang-layang. Mata riang menatap ombak pergi-kembali. Istana pasir yang <br />menggodai laut. Semilir angin dan segelas minuman dingin. Garis cakrawala yang jauh. Ekstase <br />petualangan.<br /><br />Aku adalah burung pemabuk. Aku suka bersama dia.<br /><br />Hari subuh ketika aku tersadar. Kasur yang hangat dan dia yang masih terpejam. Tetapi ada <br />yang lain diantara aroma keringat. Sesuatu yang kukenal. Bau samar dari tempat yang jauh. <br />Apakah itu kamu? Terbawa oleh sayap kelelawar yang hinggap di pohon buah. Tertiup angin yang mengusap daun-daun. Terbang dalam perjalanan panjang mengarungi jeram dan lembah. Hingga akhirnya menempel di tubuh para nelayan, menyusup melalui jendela, dan sampai ke hidungku.<br /><br />Aku adalah burung yang lelah. Aku ingin pulang.<br /><br /></p>ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com15tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-28067704572722617802009-03-04T00:06:00.012+07:002009-03-09T23:57:08.615+07:00Four Minute Warning<p><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_jd2eV336RLc/Sa1kmSWZeqI/AAAAAAAAACw/bSCCamvlijY/s1600-h/PAR313447.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 222px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_jd2eV336RLc/Sa1kmSWZeqI/AAAAAAAAACw/bSCCamvlijY/s320/PAR313447.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5309010144663272098" /></a></p><p><span style="font-size:130%;"><strong>I</strong></span><br /><br />"... <em>This </em><em>is</em><em> your four-minute warning</em> ... "<br /><br />Sirene menyalak. Nadanya monoton lagi panjang. Semua orang berusaha berteriak lebih keras <br />dari yang lain. Anak-anak sama takutnya dengan bapak-bapak. Kepanikan menyerang seperti <br />segerombolan prajurit lebah yang marah. Gaduh mengiringi seisi kota yang bergerak. Hari ini <br />kami punya tujuan yang sama di kepala: pergi ke bawah tanah, pergi sejauh mungkin dari <br />permukaan.<br /><br />Empat menit dari sekarang semuanya mungkin sudah berakhir. Ketika selubung asap hitam <br />terangkat, akan tampak seluruh kota luluh lantak. Bau kematian meruap. Udara beracun segera mengisi paru-paru yang sekarat. Air mata kering meratapi bangkai-bangkai yang tergeletak pada apa yang dulunya merupakan jalan raya. Api membakar dosa dan mimpi-mimpi. Penyesalan datang bersama maaf yang tak sempat terucap. Kami hancur oleh awan kebencian yang bernama dominasi. Ini pasti mimpi, ini tidak benar-benar terjadi.<br /><br />Di mana ayahku, ibuku, dan saudara-saudaraku? Aku tidak melihat mereka sejak entah kapan. <br />Waktu layu saat itu. Tapi tidak bagi seorang pria yang membopong paksa seorang ibu yang <br />duduk bersimpuh merapal doa keluar dari kamarnya. Hidup harus diperjuangkan, katanya. Dengan harapan yang sama, aku ingin meraih tangan seorang anak yang menangis kehilangan pegangan. Namun ia tidak tergapai. Oh, apakah itu tubuh seseorang yang baru saja kuinjak? Maaf, tuan, gerakku diluar kendaliku. Aku terdorong oleh gelombang manusia dalam ketakutan yang mendesak maju. Sepertinya saat ini setiap orang adalah untuk dirinya sendiri. Segalanya adalah tentang memperbesar peluang untuk selamat. Aku pasti sedang bermimpi. Tidak lama lagi seseorang akan membangunkanku.<br /><br /><strong><span style="font-size:130%;">II</span></strong><br /><br />Aku melihat keluar kaca, udara melipat. Pemanasan global, kata mereka. Di kiriku ada taman <br />kota. Di sana, di atas bangku, di bawah pohon, sekumpulan remaja berkerumun memelototi sebuah telepon genggam. Mereka sebentar cekikikan, sebentar kemudian terdiam memusatkan perhatian. Entah apa yang sedang mereka tonton. Mungkin teman sekolah mereka yang sedang bercumbu terekam dalam gambar beresolusi rendah. Sedangkan tidak jauh dari sana aku dapati pamflet iklan jasa aborsi ditempel di tiang listrik. Ini bukanlah mimpi. <br /><br />Di sisi kananku ada Jaguar hitam, seorang sopir, seorang pria berjas, dan seorang wanita. Sang wanita sedang bergunjing melalui Blackberry sambil sesekali mendekatkan tangannya ke <br />cahaya. Senyumnya mengembang setiap kali matanya menangkap kilau dari cincin yang baru <br />melingkar di jarinya. Aku sempat beradu pandang dengan sang pria. Sepertinya aku bisa <br />mendengarnya mengatakan "bukankah hidup ini indah?" Aku tidak sedang bermimpi, ini <br />sungguh-sungguh terjadi.<br /><br />Di radio ada berita tentang seekor harimau yang menyerang orang-orang yang memaksa membuka lahan. Di koran ada tulisan tentang aparat yang berkhianat. Aku tidak ingat di mana tepatnya aku terakhir mendengar seseorang mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Semua orang sepertinya mengatakan hal itu sekarang. Setelah mabuk, merokok, tertawa, dan ciuman perpisahan, semuanya akan baik-baik saja. Mereka bilang sampai jumpa esok hari, mari kita pulang dan menonton gosip di televisi, serta biarkan orang lain yang melakukan <br />pekerjaan-pekerjaan merepotkan itu untuk kita. <br /><br /><strong><span style="font-size:130%;">III</span></strong><br /><br />Kamu tertidur di kursi penumpang.<br /><br />Kamu benar. Aku seharusnya mendengarkanmu. Aku seharusnya tidak mengambil jalan ini. Semakin penuh saja disini. Sepertinya ada satu mobil untuk setiap nama seseorang. Aku ingin menutup telinga dan mata. Tiba-tiba aku merasa sesak. Aku benar-benar merasa kita tidak akan baik-baik saja jika kita terus seperti ini.<br /><br />Kamu terlihat damai ketika tidur.<br /> <br /><br />catatan:<br /><em>Four-minute warning</em> (terj: peringatan empat menit) adalah sistem alarm publik yang <br />dikembangkan oleh pemerintah Inggris selama Perang Dingin (1953-1992). Pemerintah Inggris memperkirakan bahwa butuh waktu empat menit (atau kurang) mulai dari saat ketika rudal nuklir yang diluncurkan oleh Uni Soviet dapat dikonfirmasikan sampai rudal tersebut mencapai sasarannya di tanah Inggris. Setelah serangan rudal dikonfirmasikan, maka peringatan akan diteruskan kepada Royal Air Force, polisi, dan media untuk kemudian disebarluaskan kepada masyarakat.<br /></p><p></p>ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-13196361146767077432009-02-23T23:59:00.010+07:002009-02-24T09:25:58.205+07:00Gravity<p><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_jd2eV336RLc/SaLWYkrTv4I/AAAAAAAAACQ/8pmgZe44cN0/s1600-h/LON9461.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 272px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_jd2eV336RLc/SaLWYkrTv4I/AAAAAAAAACQ/8pmgZe44cN0/s400/LON9461.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5306039028646395778" /></a><br /></p><p>it's like picking up a fight with your sister in the night before.<br />then in the morning you join her for breakfast.<br />and you drive her home from school later on.<br /><br />things could get really bad.<br />but in the end you know you'll keep coming back.<br /><br /></p>ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-50652808088613422482009-02-18T02:37:00.009+07:002009-03-12T01:02:47.754+07:00Decoding "L"<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_jd2eV336RLc/SbVTm96EmqI/AAAAAAAAADA/ETptojK3qTE/s1600-h/LON3708.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 202px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_jd2eV336RLc/SbVTm96EmqI/AAAAAAAAADA/ETptojK3qTE/s320/LON3708.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5311243264471636642" /></a><br /><p></p><p>Seorang pesohor wanita terkemuka baru saja keluar dari ruang sidang Pengadilan Agama. Hari itu adalah saat pembacaaan putusan atas gugatan cerainya. Para wartawan yang menunggu sedari tadi bergegas mengerubunginya berharap mendapat berita baru. Hal itu dapat dimengerti karena jauh sebelum putusan cerai dibacakan hakim, sang selebritis dan mantan suaminya rajin membeberkan aib masing-masing pasangannya kepada publik melalui media massa. Sungguh disayangkan karena pasangan itu mempunyai anak-anak yang butuh bimbingan. "Tetapi mau bagaimana lagi? Tidak ada lagi cinta diantara kami berdua", demikian katanya sambil mencoba keluar dari kepungan kerumunan. Jadi, cinta itu bisa hilang?<br /></p><br />Seorang gadis duduk dengan kebanggaan seorang putri di sofa empuk warna merah tedas dalam suatu acara bincang bintang. Sebenarnya bukan dia sorotan utama dari semua mata di studio dan mata-mata bersemangat di depan layar televisi. Bintang cemerlang di acara itu adalah kekasihnya, seorang penyanyi muda tampan yang baru tenar. Sang bintang mengulas sipu ketika pemandu acara bertanya kepada kekasihnya tentang apa yang telah mengaitkan kebersamaan mereka hingga melampaui usia empat tahun. Yang terkasih pun menjawab dengan binar mata, "aku mencintainya karena dia baik, sabar, dan penuh pengertian". "Jawaban semua orang", pemandu acara membatin. Tetapi, terlepas dari itu, apakah cinta itu benar punya syarat?<br /><br />Seorang suami duduk di ruang interogasi kantor polisi. Kumisnya tegang, dadanya penuh kucuran peluh, seorang petugas memaksanya membuka baju. Bunyi ketukan acak dari opsir yang mengetik laporan semakin membuatnya kecut. Sebuah jentikan di dekat telinganya membawa pikirannya yang sedang menerawang kembali ke ruang sempit dan gerah itu. Polisi yang menjentikkan jari mengulang pertanyaannya. Opsir itu ingin tahu mengapa ia pagi tadi menyabetkan parang ke tubuh istrinya hingga sang istri tewas kehabisan darah. Ingatan terakhir tentang istrinya adalah ketika melihatnya bercakap akrab dengan tetangga pria yang rumahnya berbatasan pagar tadi pagi. Sadar tidak bisa lari lagi, ia menjawab, "saya terlalu mencintainya". Dan sang suami sesenggukan. Jadi, cinta itu adalah bentukan keinginan menguasai?<br /><br />Seorang wanita bertubuh gempal berusia kepala tiga sedang diwawancarai oleh seorang sutradara yang ingin membuat karya dokumentasi tentang kehidupannya. Kisah hidupnya merupakan cerita menarik karena di siang hari ia menantang terik matahari, bekerja memecah batu untuk dijual sebagai bahan bangunan. Sedangkan di malam hari ia memerahkan bibir, <br />berpupur, memakai baju terbaiknya, kemudian pergi ke kuburan cina menjajakan tubuhnya. Suami yang gemar main kartu dan menenggak ciu serta lima anak masih kecil dan bersekolah membuatnya tersudut dengan sangat sedikit pilihan. "Cinta saya adalah anak-anak saya", demikian katanya. Namun, ia tidak getir ketika menceritakan hidupnya. Jadi, cinta adalah <br />pengorbanan? (Tolong koreksi saya bila saya salah).<br /><br />Seorang pria duduk menghadap meja makan, menyantap sarapannya lambat-lambat. Ia tampak tidak berselera. Istrinya mempersiapkan bekal untuk makan siang, karena tiap hari Minggu sang suami harus kerja setengah hari sedangkan kantin di kantor selalu tutup pada hari itu. Wanita cantik itu tidak tahu bahwa suaminya berahasia. Kemarin sang suami diberitahu bahwa hidupnya tidak akan lama; pria itu mengidap penyakit langka dan mematikan. Wanita itu juga tidak tahu bahwa kini sang suami di balik punggungnya sudah cukup lama memperhatikan dirinya. Dalam diam, sang suami lekat-lekat mengamati gerak-gerik istrinya mulai dari mengoleskan mentega ke roti, kemudian menaburkan butiran kecil coklat di atasnya, hingga memasukkan bekal siap dikonsumsi itu ke dalam kotak makanan. Saya tidak tahu apa yang tertera di pikiran pria itu, tetapi yang pasti ia memandang sang istri dengan tatapan berbeda. <br /><br />Sekarang coba ketik "love" di mesin pencari Google, maka akan muncul 1.910.000.000 entry hasil penelusuran. Hal ini bisa berarti dua hal: pertama, dunia ini damai karena ada luapan cinta pada diri setiap orang; atau kedua, dunia ini penuh dengan pemimpi siang bolong. Namun, sesungguhnya hal itu bisa saja tidak berarti apa-apa. Mungkin "cinta" hanya konsep samar yang bersumber dari cerita sebuah novel, kisah sebuah film, atau lirik sebuah lagu yang bercampur dengan pengalaman pribadi, pengalaman orang sekitar, juga angan-angan. Dan semua itu menjalar dari satu orang ke orang lainnya. Lihat betapa cepat gairah ini menular. Sebuah "virus cinta" (meminjam istilah dari Slank).<br /><br />Cinta tidak cukup diterjemahkan dalam kata-kata. Jika dikemukakan dalam kata-kata, yang tertangkap kemudian hanyalah sebatas yang mungkin diungkapkan. Kata-kata hanya produk yang menyederhanakan kekacauan; yang meringkus keluasan. Kata-kata mungkin hanyalah simbol, seperti sebuah gambar hati berwarna merah, atau sebuah kado di hari kasih-sayang, <br />atau sebuah kecupan di kening.<br /><br />Cinta itu dialami. Oleh karena itu, kebudayaan mengenal <em>tomber amoureux</em> (dalam Bahasa Perancis) atau <em>fall in love</em> (dalam Bahasa Inggris) atau jatuh cinta. Seseorang harus jatuh ke dalam cinta untuk memahaminya. Orang itu harus benar-benar mencebur hingga ia dapat mengukur kedalaman dan mencermati tepiannya. Ini bukan sesuatu yang diajarkan di <br />sekolah. Bahkan seorang peramal dengan bola kristal tidak dapat membantu. <br /><br />Lalu bagaimana dengan cinta yang membunuh? Apakah The Everly Brothers dan Nazareth bersungguh-sunguh sewaktu mereka mengatakan "<em>love hurts</em>"? Seorang professor cinta berkata bahwa cinta bisa menyakitkan bila orang yang kita cintai tidak membalas cinta kita, atau kadar cintanya tidak sebesar cinta kita, atau ia kehilangan cintanya kepada kita di tengah jalan. Sang professor kemudian berkata bahwa cinta seharusnya adalah tentang memberi tanpa mengharap kembali; bila orang yang kita cinta ternyata tidak mencintai kita, itu adalah masalah dia. Dan jangan jadikan masalahnya menjadi masalah kita. Namun coba katakan itu kepada orang yang patah hati; yang menggenggam hati yang berlumuran darah di kedua tangannya.<br /><br />Namun ada banyak cara bagi cinta untuk menemukan kita kembali. Seberapapun menyakitkannya cinta, kita akan tetap kembali lari ke dalam pelukannya. Mungkin memang diperlukan sedikit goncangan jiwa untuk tetap membuat kita waras, secercah rasa kematian untuk menjaga kita tetap hidup. Mungkin cinta adalah gatal yang enak digaruk?<br /><br />Selalu ada bayangan menyenangkan tentang cinta. Namun saat ini saya tidak membayangkan tentang makan malam romantis dalam temaram lilin. Saat ini saya sedang membayangkan duduk bersisian dengan dia di halaman belakang rumah di suatu sore seperti hari-hari biasanya. Dan setelah lama larut dalam percakapan akrab, saya dan dia kemudian terdiam, memandang kepada entah apa, sibuk dengan pikiran masing-masing, tetapi berbagi kehadiran, berbagi keberadaan.ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com9tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-60144540979314677142009-02-10T23:58:00.005+07:002009-02-26T00:33:38.180+07:00Dreams of a Father<p><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_jd2eV336RLc/SaV87xARQbI/AAAAAAAAACY/2ktDMqCcAwc/s1600-h/NYC26340.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 212px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_jd2eV336RLc/SaV87xARQbI/AAAAAAAAACY/2ktDMqCcAwc/s320/NYC26340.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5306785102134591922" /></a></p><p>Anakku, kalau kau besar nanti, jadilah seorang juara. Jadilah yang tercepat, yang terkuat, yang terhebat; seperti aku ini. Darahku adalah darahmu, maka mimpiku adalah mimpimu. Dan berusahalah sekuat tenaga untuk mewujudkannya. Karena kemenanganmu hakikatnya adalah keberhasilanku. <br /></p><br />Anakku, kau harus tahu bahwa aku selalu benar. Aku tidak pernah salah. Aku tahu yang terbaik untukmu. Dibelakangku ada pengalaman. Aku telah alami pahit manis kehidupan. Maka lakukanlah seperti yang aku katakan. Karena kau tidak tahu sesuatupun.<br /><br />Anakku, bila aku tua nanti, senangkanlah hatiku. Jadikan aku bangga memilikimu. Aku tidak mengharap balas budi darimu, namun bukankah tujuan seorang anak dilahirkan adalah untuk memberi kebahagiaan bagi orangtuanya?<br /><br />Anakku, satu hal lagi, jangan merokok, biar aku saja yang merokok.<br /><br />(Sang anak matanya mengerjap-ngerjap di buaian ayahnya. Sepertinya sudah saatnya untuk makan)ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-73155681578861202762009-02-04T02:18:00.008+07:002009-03-04T00:25:31.199+07:00Surat untuk Vashtia<p><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_jd2eV336RLc/SaV-Pl9BTCI/AAAAAAAAACg/wEaqTe2t9qE/s1600-h/PAR184534.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 214px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_jd2eV336RLc/SaV-Pl9BTCI/AAAAAAAAACg/wEaqTe2t9qE/s320/PAR184534.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5306786542277184546" /></a></p><p>Kaukirimkan padaku sepucuk surat. Kau katakan bahwa kau putus asa, tak tahu siapa yang bisa dipercaya, dan hilang harapan. Kau juga mempertanyakan keberadaan Tuhan karena Ia tidak kunjung menjawab panggilanmu. Kau dilanda kebingungan yang sangat tentang makna hidup ini dan arti keberadaanmu didalamnya. Kau bahkan sempat berpikir untuk berhenti. Berhenti berpikir, berhenti merasa. Pokoknya berhenti, begitu katamu.<br /></p><br />Tia, ketahuilah bahwa semua orang pasti pernah melalui saat-saat itu. Namun reaksi mereka tidaklah selalu sama. Sebagian orang tidak peduli, sebagian lagi menyangkal, dan sebagian lainnya mandek tidak mau berjalan lagi. Semua ekspresi itu berujung pada kehilangan diri mereka sendiri. Tetapi aku ingin kau tahu, Tia, cukup banyak pula orang yang mau berdamai dengan dirinya dan terus berjalan.<br /><br /><p>Kau benar, Tia, dunia ini dingin. Segalanya memang tidak lagi sehangat seperti ketika kau berada di pangkuan bunda. Hidup berubah rupa dari segelas susu coklat manis, topi lucu, dan boneka-boneka menjadi kamar gelap dan dering yang bising.Setiap hari kau bertemu dengan teman yang palsu, tetangga pendengki, dan anjing yang galak. Kau juga tidak jarang mengalami kejatuhan ataupun kebangkrutan. Gagal dalam ujian ataupun kekasih yang berkhianat pun mungkin terjadi padamu. Hal-hal buruk memang bisa terjadi, Tia.<br /></p>Sering kali kau merasa menjadi korban dari persekongkolan jahat rahasia yang mempunyai misi untuk menghancurkanmu dan membuatmu menderita. Namun bukankah penderitaan lekat dengan kita? Kelahiran adalah penderitaan, tumbuh berkembang pun penderitaan sebagaimana kuncup menderita kala menjadi bunga. Penderitaan adalah takdir.<br /><br />Karena aku telah bicara tantang takdir, kau mungkin akan bertanya apa yang harus kau lakukan untuk menjalani takdir; untuk mengatasi derita. Jawabanku adalah aku tidak tahu, Tia. Dan mereka yang sering menyebut dirinya pakar yang mengetahui segala hal pun tidak tahu. Mereka hanya pelawak dungu yang mengarang kiat-kiat untuk mengatasi masalah. Aku sarankan padamu untuk tidak menelan bulat-bulat apapun yang mereka katakan. Karena kita bukanlah alat yang sama; bukan pribadi yang serupa dan sebangun. Dirimu adalah keunikan, Tia. Hanya satu dari sekian banyak kepribadian. Cuma kau yang mengetahui bagian mana dari dirimu yang kuat. Maka hanya dirimu yang bisa menjawab pertanyaan itu.<br /><br />Semua ini hanyalah suatu tahapan. Saat ini kau terpilih untuk mengambil satu langkah untuk menjadi diri sendiri dalam mengarungi derita; untuk memulihkan diri dari kekecewaan dalam helaan napas dan detak jantung yang hampir hilang; untuk menghirup udara dan menatap bintang; untuk tumbuh dari kanak-kanak menjadi dewasa. Maka belajarlah untuk mendengar manakala kehidupan berbicara. Mulailah untuk mengingat kembali apa yang membuatmu bergairah; yang memberikan kehangatan di pagi hari; yang menggerakkanmu.<br /><br />Dan mengenai Tuhan, cobalah untuk menengok-Nya di dalam diri. Mungkin Ia yang berbicara padamu melalui seekor kumbang di relung terdalammu. Mungkin kau tidak mengenali lagi suaranya. Itu karena selama ini orang-orang telah memasukkan banyak lebah ke dalam telingamu. Maka simaklah suara kumbang itu. Amati juga apa yang terjadi ketika ia menghening. Ikutilah perkataannya bahkan jika ia menuntunmu ke dalam kesendirian dan takdir yang kelam. Karena keberuntungan bersama mereka yang kuat dan berani.<br /><br />Ketahuilah, Tia, bahwa tidak ada hidup yang lebih terhormat. Yang ada adalah hidupmu ini; satu-satunya hidup yang harus kaulalui. Dan bila kau berhasil mengatasinya, kehormatan adalah milikmu. Karena tidak sedikit orang yang lari dari sakit dan bahkan ingin untuk tidak pernah dilahirkan. Mereka ini yang menganggap bahwa mengakhiri hidup adalah suatu pilihan. Tia, banyak orang berpikir bahwa maut lebih memikat, mereka berani mati. Tetapi apakah mereka juga berani hidup?<br /><br />Tia, bangunlah dari tempat tidurmu. Pergilah mandi. Buatkan secangkir caffe latte untuk dirimu sendiri. Ada yang harus dirayakan hari ini.ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-23838108413989959832009-01-30T02:03:00.004+07:002009-03-10T00:42:06.890+07:00Sebuah Epithet<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_jd2eV336RLc/SbVU1EUcyzI/AAAAAAAAADQ/R5UaHn8OmeM/s1600-h/PAR230532.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 260px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_jd2eV336RLc/SbVU1EUcyzI/AAAAAAAAADQ/R5UaHn8OmeM/s400/PAR230532.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5311244606222682930" /></a><br /><p></p><p>Kami adalah sejumlah ahli agama. Tentu saja kami merupakan orang-orang pilihan dari yang paling beriman. Ilmu kami tinggi, karena kami tekun memelototi kitab suci. Jubah kami serupa malaikat, hanya sayang kami tak punya sayap. Maka dengarkanlah kami, karena kami adalah penyambung lidah Tuhan.<br /></p><br />Kami adalah pembuat hukum. Tugas kami berat sekaligus penting, karena kami memikirkan kemaslahatan umat. Namun kalian tidak perlu repot-repot urun pendapat. Biar kami yang bekerja, berdiskusi sampai pagi, mengutipi ayat dan dalil yang bisa mendukung kami. Kalian juga jangan ragu. Pemahaman kami atas persoalan sudah pasti benar. Kami tidak mungkin salah karena kami orang suci. Mungkin dulu Tuhan mencampurkan logam mulia dalam adonan penciptaan kami.<br /><br />Kami hanya berusaha membantu, karena manusia sejak lahir membawa hasrat asal Adam. Kalian sering bingung bila dihadapkan pada pilihan. Itu karena iman kalian dangkal dan akal kalian pendek. Jadi, supaya kalian tidak salah pilih yang berujung pada kesesatan, maka kami langsung nyatakan saja bahwa memakan buah quldi dari pohon itu haram hukumnya. Yang melanggar adalah pendosa. Takdir mereka adalah jadi arang kayu bagi api neraka.<br /><br />Hai orang-orang yang beriman, yakinlah pada apa yang kami tetapkan untukmu. Kami mencoba menjauhkan kalian dari laknat Tuhan. Maka laksanakan keputusan kami dengan keteguhan hati.<br /><br />(Sesaat sebelum ketok palu, kami sempatkan diri melihat ke atas --ke arah Tuhan, bertanya-tanya apakah Ia yang berada di singgasana-Nya sedang mengangguk atau menggeleng kepada kami. Dan karena Ia tidak kunjung menjawab, kami pun saling memandang satu sama lain. Di mata rekan kami, terlihat tatapan yang mengatakan "Ya Tuhan, ampunilah kami yang lemah") ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-10248208227173352292009-01-26T02:02:00.001+07:002009-01-26T02:04:14.467+07:00Doa Sebelum TidurTerimakasih, mata<br />Terimakasih, telinga<br />Terimakasih, mulut<br />Terimakasih, hidung<br />Terimakasih, tangan<br />Terimakasih, kaki<br /><br />Terimakasih, mentari<br />Terimakasih, bulan<br />Terimakasih, langit<br />Terimakasih, bumi<br /><br />Terimakasih, Tuhan<br /><br />Tuhan, aku ingin ...<br />Tuhan, berikanlah ...<br />Tuhan, kumohon ...<br />Tuhan, aku ...<br />Tuhan, ...<br />...<br /><br />Ah, Tuhan, Kau lebih tahu daripada akuezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-8964541690581088595.post-69238162025832439592009-01-22T00:47:00.007+07:002009-03-10T00:42:06.891+07:00Merah (tidak selalu) berarti Berhenti<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_jd2eV336RLc/SbVUOIgTapI/AAAAAAAAADI/-myHud0OAh8/s1600-h/PAR133646.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 215px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_jd2eV336RLc/SbVUOIgTapI/AAAAAAAAADI/-myHud0OAh8/s320/PAR133646.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5311243937331243666" /></a><br /><p></p><p>Peristiwa ini terjadi sudah cukup lama. Namun cerita seorang teman membawa ingatan tentangnya kembali. Saya ingat waktu itu saya mempercepat laju kendaraan saya karena count-down timer di atas sebuah lampu lalu lintas menunjukkan tinggal 5 detik lagi sebelum lampu berubah dari hijau jadi merah. Saya merasa saya tidak akan dapat berhasil melewati lampu tersebut sebelum waktunya tiba. Tetapi saya ingat saya berpikir bahwa terlambat satu atau dua detik takkan jadi soal karena lalu lintas dari arah lain juga belum akan mulai bergerak. <br /></p><br />Saat itu, tidak jauh di depan kendaraan saya ada kendaraan lain. Saya kira kendaraan itu juga akan sedikit terlambat bila ia memutuskan untuk menerobos lampu merah. Namun perkiraan saya salah. Pada detik terakhir, ia memilih untuk berhenti. Pada detik yang sama, saya yang telanjur melaju cepat terpaksa membanting kemudi ke kiri untuk menghindari tumbukan. Akhirnya, kendaraan saya berhenti di sisi kiri kendaraan tersebut, di bawah lampu lalu lintas yang menyala merah, dan saya jadi kesal.<br /><br />Setelah lama berselang dan saya sudah cukup tenang, saya mencoba mengenali kekesalan saya tersebut. Mengapa saya kesal padahal saya tidak sedang terburu-buru? Saat itu cuaca cerah dan tidak panas. Suasana hati saya juga sedang bagus. Tetapi mengapa mobil tersebut tidak menerobos lampu merah seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang --dan tidak jarang termasuk saya? Saya pun tiba pada kesimpulan bahwa saya marah karena pengendara mobil tersebut taat pada peraturan.<br /><br />Richard Dawkins, seorang pakar biologi, dalam bukunya The God Delusion, yang mengutip satu kalimat pengarang lain mengatakan, ”Bila seseorang menderita waham, gejala itu akan disebut gila. Bila banyak orang menderita waham, gejala itu akan disebut agama". Dengan kata lain, bila dilakukan oleh satu orang, itu disebut "kesalahan". Sedangkan bila banyak orang yang melakukannya, itu disebut "budaya". Jadi bila perilaku salah seperti membuang sampah tidak pada tempatnya dilakukan secara berjamaah, hal itu bukanlah jadi masalah, karena hal itu merupakan sesuatu yang secara umum dapat diterima.<br /><br />Di beberapa daerah saat ini telah ada Peraturan Daerah yang melarang seseorang merokok di dalam ruang publik. Namun berdasarkan pengamatan saya, Peraturan Daerah itu tidak berjalan efektif. Masih banyak didapati di beberapa tempat umum seorang perokok dapat leluasa menghisap rokoknya tanpa peduli pada orang-orang di sekitarnya.<br /><br />Bagi saya, merokok --apapun motivasinya-- adalah pilihan si perokok. Saya tidak hendak melarang merokok karena saya anggap para perokok sudah dewasa, sudah paham konsekuensinya. Namun, bila si perokok menghisap rokoknya di dalam ruang publik, ia sudah merampas hak-hak orang lain untuk bernapas dengan lega.<br /><br />Sering saya dapati, seberapapun terganggunya orang-orang di sekitarnya, si perokok tetap tidak acuh. Baginya merokok adalah kebebasan penuh. Tidak ada keinginan dari hatinya untuk memikirkan kenyamanan orang lain. Namun tidak ada juga usaha dari orang-orang di sekitarnya --yang merasa terusik-- untuk membuatnya menyadari bahwa tindakannya telah menindas kebebasan orang lain. Pada akhirnya, si perokok akan tersenyum karena ia menganggap bahwa orang-orang sekelilingnya dapat menerima kehadirannya --beserta asap rokoknya.<br /><p>Ada saat tertentu ketika pendapat yang disuarakan orang banyak dapat menjadi kekuatan yang hebat untuk menjaga, memelihara, dan merawat segala kebaikan yang tumbuh dalam diri manusia. Namun, kadang di suatu ketika, tenaga itu bisa hilang arah. <br /></p> ezrasatya mayohttp://www.blogger.com/profile/03996152365333505864noreply@blogger.com5