Saturday 30 May 2009

Di Jalan Panah

"Sahaya tidak bisa, dewi ratu. Pilihan sahaya sudah tetap. Pantang bagi sahaya menarik kembali apa yang telah terlontar. Esok semua akan jadi terang di Padang Kuru, apakah sahaya atau Arjuna yang regang memeluk tanah. Sekiranyapun demikian adanya, dewi ratu tetaplah berputra lima"

Kunti pun jatuh sedih. Namun, melihat Karna yang teguh, ia tak bisa lebih menyesali polahnya di masa muda yang membawanya pada titik ini. 

"Dewi ratu tentu tahu, Drona pernah menolak sahaya menjadi muridnya dan Drupadi pernah 
menampik sahaya yang hendak mengikuti sayembara untuk menjadi suaminya karena sahaya 
hanyalah seorang sutarata; anak seorang pengendara kereta kuda yang hina. Dan kini ketika 
sahaya memilih untuk mengabdi kepada Duryodana -lawan tanding dari para Pandawa, Dewi 
Kunti juga hendak menangisinya?" 

"Kau adalah anakku, Karna. Kau adalah putra Batara Surya. Kau lahir sebagai ksatria."

"Bhargawa mengutuk sahaya karena sahaya memendam sakit akibat gigitan serangga supaya ia yang sedang terlelap di pangkuan sahaya tidak terbangun dengan gerutu. Bhargawa mengutuk sahaya karena untuknya sahaya menjadi ksatria sedangkan padanya sahaya mengaku sebagai brahmana. Lalu apakah sebenarnya arti keksatriaan itu? Mengapa bagi sahaya ia hanya tampak seperti sosok tanpa rupa yang menggelayuti pikiran?

"Percayalah, dewi ratu, sahaya sudah mengatasi semesta yang menempatkan sudra di bawah 
alas kaki; pada undakan terendah. Sahaya tidak lagi berdiri di tataran yang merumuskan 
manusia berdasar darah ayahbundanya. Segala itu tidak berarti bagi sahaya. Manusia adalah 
apa yang ia lakukan. Biarlah ia melata di muka bumi atau menjalar di sela-sela bebatu tebing asal tidak diam, mengakar, dan enggan beranjak dari liangnya. Seseorang tidak diciptakan untuk hanya duduk menunggu apa yang telah digariskan di langit. Begitu menyedihkan! Tidak, sahaya bukanlah orang itu. Sahaya adalah tetes air yang melubangi cadas."

"Kumohon, urungkanlah! Jika kau tak ingin menghiraukanku sebagai ibumu, dengarkanlah 
perkataanku sebagai seseorang yang akan sangat bersedih melihat kesetiaanmu ditebus dengan 
kematianmu di tangan saudaramu."

"Dewi ratu, sahaya telah mengosongkan diri dari kecemasan dan ketakbersediaan. Dan pada 
kehampaan itu sahaya mengisikan kekuatan. Banyak orang menyebutnya keserakahan atau bahkan cinta yang buta. Dan mereka pikir itulah yang akan membunuh sahaya. Namun, dewi ratu, bagi sahaya, kematian bukanlah soal. Bahkan tidak pernah terlintas di benak sahaya untuk gentar menghadapinya. Itu karena sahaya lebih besar daripada itu. Lagipula bagaimana dewi ratu begitu yakin bahwa sahayalah yang akan mati? Ingatlah bahwa Arjuna punya peluang tumbang yang sama."

"Tidakkah dewi ratu ingat saat ketika dewi melarung sahaya ke aliran sungai Aswa? Mungkin 
saat itu dewi berpikir bahwa adalah mustahil mempunyai anak tanpa terlebih dahulu mengikat 
janji suci pernikahan. Dan kini sahaya mengikuti jejak dewi ratu; sahaya melarung jiwa sahaya ke medan perang. Karena bagi sahaya adalah mustahil untuk mencapai tujuan tanpa adanya pengorbanan; tanpa penyerahan diri sepenuhnya."

Dan pada hari ketujuhbelas Perang Baratayudha, saat matahari di puncak kepala dan debu 
meninggi oleh derap-derap kereta kuda, saling berhadapan Arjuna -putra tengah pandawa- dan 
Karna. Ketika Arjuna membidik dengan Pasupati, kereta Karna terperosok ke dalam lumpur. 
Ingin lepas dari keterdesakan, Karna merapal mantra untuk membebaskan roda keretanya dari 
jeratan lumpur. Namun, kutukan Bhargawa bekerja, ia mendadak silap pada semua ilmu yang 
telah ia serap dari Bhargawa. Dalam saat-saat menentukan, Arjuna melesatkan panah yang 
menetak leher Karna; ia gugur. Dan langit menggelap. Gemuruh pun mengiringi jiwa yang 
tercerabut dari raga.

Kunti tahu bahwa putranya telah padam, seperti bara yang habis. Dalam kesedihan mendalam, 
ia teringat pada masa silam. Ia ingat bahwa ia, Kunti yang cantik beroleh berkah mantra 
Adityahredaya. Ia juga ingat bahwa ia, Kunti yang berbakti mendapat murka dari Dewa Surya 
karena menggunakan mantra itu sebagai mainan. Ia ingat pula bahwa ia, Kunti yang terlampau 
belia tak sanggup menanggung beban seorang anak dalam kandungannya sebagai hukuman 
sedangkan ia tidaklah bersuami. Ia pun ingat bahwa ia, Kunti yang ceroboh menempatkan 
putranya yang sejak lahir berzirah dan beranting di satu telinga itu ke dalam keranjang 
kemudian menghanyutkannya ke sungai Aswa.

Perang di Kurusetra akhirnya usai pada hari kedelapanbelas dengan kemenangan di pihak 
Pandawa. Namun tetap saja perang itu tidak dapat lepas dari darah yang menggenang, 
tubuh-tubuh teronggok, dan gaung kedukaan. Adakah segala yang telah diupayakan hanya 
melahirkan kesia-siaan?

Mengapa berperang? Apakah yang diperangi? Pada pertanyaan itu Karna menghadapkan wajahnya. Baginya perang bukanlah soal siapa yang tewas dan siapa yang terus hidup; bukan tentang siapa yang berjaya dan siapa yang menangis. Pertempuran yang sebenarnya terjadi di dalam diri. Pada setiap panah yang mengarah kepadanya, ia mengukuhkan diri. Dan begitulah 
bagaimana dirinya menjadi.

Dalam perjalanannya, ia harus memilih pihak. Ia menentukan jalannya dan kemudian kukuh 
menapakinya. Ia berangkat dengan kesadaran penuh dan terus-menerus menempa diri agar jalan itu mengantarkannya dari "bukan apa-apa" menjadi "segalanya". Ketekunan menempuh jalan akan membawa sang pejalan melebur dengan jalan, demikian dikatakan. Dan pada akhirnya perjuangan akan mendapatkan makna.

19 comments:

Fenny said...

"Biarlah ia melata di muka bumi atau menjalar di sela-sela bebatu tebing asal tidak diam, mengakar, dan enggan beranjak dari liangnya."

setuju! ^^

Jenny Jusuf said...

lagi-lagi...

...

..

.

speechless

Yoes Menoez said...

Selalu menyenangkan bicara ttg makna perjuangan, dying of trying istilah temenku. Yg plng penting bkn hasilnya kan, tetapi usaha atau proses utk mendptkannya.
Jd inget film favoritku "Children of Heaven", sekuat apapun usaha kita toh hasilnya tdk selalu spt apa yg kita inginkan.

ezrasatya mayo said...

fny_w:
*bersulang*

jj:
ngomong dong, j..
apa salahku?
hehe..

yoes:
jadi orientasi proses bkn orientasi hasil ya ,mbak?
lagipula bukannya kalo pd akhirnya indah stelah perjuangan keras akan trasa lbh nikmat?

chindy tan said...

Dewi ratu, sahaya telah mengosongkan diri dari kecemasan dan ketakbersediaan. Dan pada
kehampaan itu sahaya mengisikan kekuatan. Banyak orang menyebutnya keserakahan atau bahkan cinta yang buta. Dan mereka pikir itulah yang akan membunuh sahaya. Namun, dewi ratu, bagi sahaya, kematian bukanlah soal. Bahkan tidak pernah terlintas di benak sahaya untuk gentar menghadapinya. Itu karena sahaya lebih besar daripada itu.

Ezra,
"sahaya lebih besar daripada itu" bagian ini sangat menggigit;)
berapa banyak tantangan dalam hidup kita yang mampu kita labeli"sahaya lebih besar daripada itu"
seorang sahabat yang telah 10 tahun berpacaran, jelang pernikahan, tiba-tiba sang pria mengurungkan niat. pernikahan pun batal. sang wanita terpukul oleh kecewa yang sangat, tak tau harus berkata apa. untuk beberapa waktu hanya memilih berdiam diri dalam kamar. Dalam situasi hati seperti ini, saya yakin hidup ingin kita berkata,"saya lebih besar dari kecewa ini"

Terimakasih atas inspirasinya Ezra;)
btw cerita di atas cuplikan dari Ramayana ya?

chindy tan said...

eh keliru ding, Mahabharata ya;)

ezra said...

chindy:
memang yg pertama perlu dilakukan adalah afirmasi pada diri. dan yg terjadi kemudian adalah sareh dan seleh hingga pada akhirnya kita mengatasi masalah.
tsaahh.. ngomong apa sih? ga jelas. hehe..
iya, mbak, mahabharata. sperti yg ditonton dulu setiap hari senin jam 11 di televisi pendidikan.
ahaha..

Anonymous said...

Dulu saya suka nonton ini pilem tapi koq gak nyantol di kepala ya...
nama2nya susah di ingat :p

Sedih nasibnya Karna.. dimana - mana ditolak bahkan dilarung ibunya...
teringat posting saya mengenai ibu yang tak mau anaknya juga...

kiranya wanita2 yang membaca ini boleh belajar dari tindakan Kunti. Ibu adalah sumber kehidupan namun berpotensi menyebabkan pertempuran juga...

rayearth2601 said...

Jalan Panah Rt berapa ya ?

mal said...

Karna di Mahabarata adalah Kumbokarno di Ramayana.

Marshmallow said...

kisah-kisah pewayangan memang sarat filosofi. tinggal kita yang musti pintar-pintar memaknainya, tak sekadar hiburan.

kasihan karna. tapi dia toh tidak merasa kecil, dan baginya pertempuran itu adanya di dalam diri untuk mencapai kesempurnaan. mungkin kasihan lebih tepat ditujukan kepada diri kita sendiri yang tak mampu seperti karna.

whew. did i say something?

ezra said...

eka:
iya, saya jg lupa cerita di filmnya. soalnya diceritakan dgn tdk cukup baik. saya baru bener2 ngeh stelah baca

rayearth:
peta.. peta..

mal:
terimakasih sdh diingatkan

marshmallow:
you said everything, uni.. ;)

yoan said...

ah, karna...
saya suka nangis kalo denger atau baca ceritanya dia... *ehm... kayaknyamemangsayanyaajayangcengengdeh*

ah, karna...

ezra said...

yoan:
ah, situ aja yg cengeng.
;)

yoan said...

*timpukezrapakemonitor*

sonn said...

hehehe, dua orang penulis indonesia paporit gw juga demen nulis wayang; seno & danarto :)

lanjutkan! (sby berbudi -red) (apaan sih malah kampanye -red)


oh, wf gw ingen. asik ya.

KangBoed said...

yahuuuuud.. siplaaaah.. sampe bingung mo ngomong apaaaa yaaa.. hehehe..
Salam Sayang

kangBoed said...

Dunia ada karena CINTA
Manusia ada kerena CINTA
sadar tiada sadar manusia hidup diliputi CINTA
mereka semua adalah pejalan CINTA
Benar adanya mereka lebur dengan CINTAnya
CINTA mereka tersimpan dalam batin
Muncul dalam perbuatan
Maka terlihat sesungguhnya apa yang dicintanya dan di agung agungkan serta dipujanya

yoan said...

*clingakclinguk*

err... ezra...
dapet award en pe-er dari sayah...
ambil di sini ya: http://perjalanankata.wordpress.com/2009/06/30/yoan-is-awesome/


:))