Tuesday, 24 March 2009

Aku adalah Sebatang Pohon


Aku adalah pohon beringin. Batangku rindang dan daunku rimbun. Di belakangku ada kali yang berwarna kehitaman. Di dekatku ada sebuah kampung. Sudah lebih tujuh tahun aku mengawasinya bertumbuh.

Di tubuhku ada pahatan nama seseorang, gambar hati tertusuk anak panah, dan nama kekasihnya. Di tubuhku juga seorang bocah menyandarkan dahinya sambil menutup mata dan mulai berhitung dari satu sampai sepuluh ketika sedang bermain bersama teman-temannya. Namun tubuhku juga digunakan untuk memasang gambar seorang terhormat yang memakai peci, jas berwarna, dan dasi. Mereka menggunakan paku dan palu, aku hanya bisa menahan sakit. Belum lagi ketika tengah malam diam-diam ada seseorang yang duduk bersila di hadapanku sambil berkomat-kamit. Oh, semua keramaian ini dan aku masih merasa kesepian. Karena itu aku sering menangis.

Semenjak aku mulai menangis, semakin banyak orang yang datang mengunjungiku. Sebagian besar mereka menampung air mataku untuk dibawa pulang. Mereka dibawa ke tempatku oleh cerita dari mulut ke telinga. Satu mulut ke satu telinga dan begitu seterusnya hingga aku menyadari bahwa cukup banyak kepala di sini untuk dapat disebut ramai. Mereka bilang air mataku berkhasiat. Aku tidak tahu apakah aku harus merasa bahagia. Kalau aku bahagia, apakah aku masih akan terus menangis?

Namun semuanya berubah ketika ia —yang menyapihku sejak aku lahir— ingin membunuhku. Ia menganggap aku telah membuat orang-orang itu berpaling dari Tuhannya. Alih-alih memohon pada Yang Maha Kuasa, orang-orang itu meminta pertolongan kepadaku. Dan itu membuatnya murka. Ia pun lalu menahbiskan dirinya sebagai laskar yang menyucikan agama dan oleh karenanya menghalalkan kematian bagiku yang dianggap berhala. 

Sungguh, Tuhan, ketika ia mengirimkan padaku kematian yang cepat melalui gergaji mesin, aku 
bertanya-tanya apakah kami berdua berbicara tentang Tuhan yang sama; niat baik yang sama.

Aku memang sudah mati, namun aku belum moksa. Sukmaku melayang-layang. Aku bisa melihat potongan tubuhku di sana masih mencucurkan air. Mungkinkah bumi ikut berduka? Atau memang orang-orang itu tidak belajar ilmu hayat hingga tidak mengetahui bahwa pohon seperti aku merupakan penyimpan air yang baik.

Ketika aku mati, benakku membuka diri pada suara-suara dan keributan di dunia. Aku mendengar banyak cerita. Banyak yang sekedar ocehan tidak bermakna, namun ada juga yang membuatku penuh oleh awan-awan pertanyaan. Maka pandanglah aku sebagaimana kau akan kehilangan hidupmu jika kau berkedip, karena aku akan menceritakannya padamu.

  1. Aku mendapati bahwa baik orang yang memberi sajian berupa kembang dan kemenyan di mukaku maupun orang yang membunuhku sama-sama menganggap aku sebagai objek. Aku hanyalah simbol. Bagi golongan pertama, aku merupakan perlambangan sesuatu yang ingin mereka rengkuh. Sedangkan bagi golongan kedua, aku adalah perlambangan sesuatu yang ingin mereka tolak. Mereka menganggap aku tidak punya kehidupan sendiri.
  2. Aku mendengar tentang perempuan-perempuan yang harus menggunakan selubung yang menutupi ubun-ubun sampai tumit untuk menghindari keambrukan moralitas. Aku juga mengetahui tentang upaya untuk membendung bahaya laten komunisme dengan cara memukuli mahasiswa-mahasiswa yang sedang berdiskusi tentang marxisme. Aku melihat ada benang tertentu di sini yang berkaitan dengan kemalangan yang menimpaku. Aku merasakan kehadiran suatu pola: untuk meniadakan musuh, mata kita harus dibutakan. Karena sesuatu itu ada hanya bila ia dapat dilihat.
  3. Aku berpikir tentang masa depan: suatu masa ketika Tuhan mengusap kepala hamba-Nya dengan tangan-Nya yang keriput; masa ketika Ia tidak lagi menampakkan diri melalui karya agung-Nya; masa ketika kau hanya perlu memejam dalam lima hitungan dan ketika kau membuka mata, di hadapanmu sudah ada mobil yang kaudamba atau kekasih hati yang kaucari melalui doa. Di masa itu, aku yakin kau tidak akan memerlukan teman yang menghibur ketika susah dan sahabat yang mendengar saat kau berkeluh sebagaimana kau tidak memerlukan dokter, petani, insinyur, pilot, guru, atau sebatang pohon yang menyimpan air murni yang terbebas dari kuman dan zat pengotor lain karena kau percaya pada kasih Tuhan yang akan mendatangimu langsung seperti petir yang menyambar di atas kepalamu.

Tuhan, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu.

Aku adalah sebatang pohon. Aku mengada di antara petak-petak batu, di pinggir kali, di 
pematang sawah, di taman suatu komplek perumahan, di halaman sekolah, di lembah basah, di 
padang gersang, bahkan sebagai tunas dari biji buah yang kaubuang sembarang. Aku menjadi 
tempat burung-burung bersarang dan singgah. Aku merupakan sumber makanan bagi serangga dan bentuk kehidupan lainnya. Aku menjadi wahana permainan bagi anak-anak yang gemar memanjat. Aku akan selalu mewujud kembali bahkan jika kau terus menumpasku. 

Aku percaya bahwa aku diciptakan untuk suatu alasan. Yang suci dan penting bagiku adalah 
menjadi bagian dari keindahan, kerja, dan kehidupan. Dan dengan demikian bukankah aku 
merupakan perpanjangan tangan Tuhan?

related article:
http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/03/17/07273072/Beringin.Sakti.Ditebang.Lagi..Warga.Kecewa
http://jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=73674

19 comments:

Anonymous said...

=,(

Anonymous said...

bahussss :D

gw tunggu tulisan lo ketika ponari jadi tragedi (bukan nyumpahin, tapi tampaknya sudah menjurus ke arah sana).

ezrasatya mayo said...

ami:
*menyediakan shoulder to cry on* :p

sonny:
tengkyu, sonn.
haha.. nanti kalo ponari sdh jadi kaya, baru takbikinin tulisan. kebahagiaan yg tragis

Anonymous said...

Hmmmm mengamini paragraf terakhir :)

Salam kenal dan thanks dah jalan-jalan ke ladangkata :)

Babisuper said...

Judulnya nanti, Saat Ponari menjadi Kaya.

:))

Great ending line, bos.

Yoes Menoez said...

Jika memang air mataku berkhasiat, aku akan tetap menangis agar banyak makhluk bisa merasakan keberadaanku (yg berarti juga merasakan keberadaan Tuhan krn aku memang perpanjangan tangan-Nya). Mudah2an aku tidak bernasib spt lilin yg hancur demi kebahagiaan orang lain.
Tulisannya bagus2 banget, minta ijin aku add di Blogku ya (Blogger baru nih...), salam kenal ya...

ezrasatya mayo said...

icha:
amin. hehe.. mengamini semoga arwah pohon itu diterima di sisi-Nya juga ya. :)

babisuper:
aih, gimana kalo Ponari Mendadak Kaya aja, guh? atau Ponari Saba Kota? eh, itu mah kabayan yak? huehehe..

yoes menoez:
trus jadi apa, mbak? jadi obor? kalo minyaknya abis nanti mati juga. bahkan lampu terang hemat energi pun ga akan berarti kalo listrik putus kan? :)
makasih, mbak. monggo kalo mau nge-link

Anonymous said...

Fantastis !
Pilihan katanya sederhana dengan makna yang luar biasa dalam.

Salam kenal :)and thank u udh mampir blog.ku

kalo boleh, tukeran link bisa?
Biar bisa selalu tahu kalau ada postingan terbaru.

http://ceritaeka.wordpress.com

Anonymous said...

kira2, bahagia gak hidupnya sebatang pohon itu?
ketika ia tahu tapi tak bisa memberi tahu
ketika ia mengerti tapi tak bisa membuat orang lain mengerti
ketika ia ingin bergerak tapi terlanjur dipeluk bumi...

*en wadehel am i talkin 'bout here...

ezrasatya mayo said...

eka:
tengkyu, eka. baiklah, tukeran yuk

yoan:
mungkin kebahagiaan si pohon ga perlu dikaitkan sama manusia, krn bakalan susah kalo nurutin keinginan manusia. mungkin ia bahagia hanya karena berada di sana.
now WTH am i talkin bout?

Ninda Rahadi said...

tulisan kamu juga bagusss banget. hehehhe. saya senang bacanya...
ohyaaaa, nindalicious adalah mengenai tulisan saya. untuk life journal, visit www.waitingintorain.blogspot.com. sengaja menyembunyikan dari profil ,hahahha.... memang untuk orang yg dikenal dalam dunia maya saja sih :p gahahaha

Marshmallow said...

ah, ez.
tulisan yang keren.
memang kalau kita ingin melihat dari persepsi yang lain, sebaiknya kita menjadi sesuatu yang lain. paling tidak mencoba berdiri di sepatunya. (bisa nggak ya berdiri di dalam sepatunya pohon? ah, embuh.)

itulah yang disebut dengan empati.

satu hal pula, seringkali kita merasa bahwa "memusnahkan" itu adalah solusi terbaik. tak heran perang tetap subur di muka bumi.

jessica said...

this is a soooo..... writing.
Saya merenung sejenak.

Love it =)

ezra said...

anindya:
tengkyu..
btw, kok malah diumumkan? jd ketauan dong yg sengaja disembunyikan

@marshmallow
hehe.. ukuran berapa ya sepatunya?
iya, hemma, seringkali kita hanya berpikir utk menghilangkan ketakutan bukannya utk menghadapi ketakutan

fadielajah said...

hmmmmm.. patut direnungi..

ine said...

Bagus....

Nia Janiar said...

Aku juga mengetahui tentang upaya untuk membendung bahaya laten komunisme dengan cara memukuli mahasiswa-mahsiswa yang sedang berdiskusi tentang marxisme.

v
v
v

Pada keseluruhan cerita, pohon diceritakan sebagai pencerita pasif - bercerita apa adanya. Tapi kalimat ini membuat jadi janggal, seperti yang tiba2 tahu tentang sosial. Mungkin bisa diganti dengan kata yang sederhana?

Hehe, hanya memberi saran, tapi saya suka tulisan ini.

Saya link, ya?

ezrasatya mayo said...

lolita & fadiel:
mari kita berkontemplasi. *duduk bersila mnghadap lilin*. hehe..

ine:
tengkyu..

mynameisnia:
sbenernya aku berpikir tentang spon yg kecemplung ke air, lalu ia jadi berat karena menyerap air. jadi, pengetahuan yg mendatanginya, ia tetap pasif.
saya jg harus minta maaf sama pohon krn saya jg hanya menggunakan dia sbagai alat. :)
tengkyu sdh memperhatikan tulisan saya begitu detail.
hehe.. saya ga bisa menemukan kata yg sederhana waktu itu, soalnya saya menulis ini dgn emosi jiwa. hahaha...
salam kenal dan terimakasih..
eh, monggo di-link kalo mau..

chindy tan said...

Hiep,hieep,huurray!
lega jack bisa ninggalin jejak di sini..akhirnya
Ezra g kepikiran untuk terbitin tulisan'e? bagus2 bgtlo