Thursday, 2 April 2009

Punchdrunk


Lagu yang muram diperdengarkan. Nada-nada minor diiringi gesekan biola dan denting piano satu-satu. Suara mendengung gabungan antara gumam doa dan rintih tertahan. Gambar gerak yang bisu dan gelap dibalut warna dari dimensi lain. Setiap gambar mewakili kesedihan yang merayap dalam gerak lambat. Begitu lambat hingga seperti sesuatu yang menusuk pelan-pelan; kesakitan yang perlahan. Tema hari ini adalah hari yang buruk.

"OK, I've got the message."
"Tunggu, kau belum melihat semuanya. Lihat yang ini!"

Kamera sekarang sudah benar-benar berada di pusat lingkaran peristiwa; tempat di mana semua itu terjadi. Kamerawan menangkap gambar air kecoklatan yang mengalir di jalannya, tanah becek dan kaki-kaki yang menginjakinya, serta kerumunan yang murung. Sementara di sisi lain ada tembok yang menyisakan rangka-rangka, bangkai ikan, batang pohon yang berdesakan bergelindingan, lumpur, rak piring, mobil terguling, buku-buku dan kitab suci, lumpur, mayat menggembung, sandal jepit, kasur, televisi, topi sekolah, dan lumpur. Semua itu terekam dalam intensitas tinggi. Itu karena kamerawan tak pernah lalai memperbesar gambarnya sesekali seraya mengatur fokus lensa dan menyesuaikan cahaya. Ia tak ingin kehilangan ketajaman. Gambar harus dihadirkan dengan kekerasan yang sama dan tanpa belas kasih. Ia sungguh merasa sedang mengemban tugas mulia. Di pedalamannya saat itu sedang berkecamuk kengerian dan kepuasan. Tempat itu adalah tempat di mana suatu kabar menjelma menjadi kabar buruk untuk sebagian orang dan kabar baik untuk sebagian yang lain.

"Aku sudah mengerti maksudnya. Bisa kita pergi sekarang?", aku berkeras.
"Tidak sebelum kau melihat yang ini."

Masih gambar yang sama, hanya sekarang ditemani oleh narasi. Seorang reporter pria dengan 
suara rendah berusaha memberikan emosi dalam bicaranya. Ia bertanya kepada seorang wanita tua tentang bagaimana perasaannya saat itu. Dalam bingkai gambar, pria itu layaknya seorang 
Romo yang siap menyimakmu di bilik pengakuan dosa. "Keluarkan semua, anakku. Lepaskanlah!", demikian tatapannya mengatakan. Sang wanita pun menyerah hingga akhirnya menjawab dalam kepiluan. Tepat saat itu pula kamera memindahkan fokusnya hanya pada wanita itu. Begitu dekat hingga kau dapat melihat kantong mata, kemerut di sudut bibir, bintil-bintil di leher dan tentu saja air yang mengalir dari kedua matanya. Saat itu adalah saat ketika keperihan digandakan dan kedukaan diperbesar ratusan kali. Kesedihan dikemas sedemikian rupa sebagai alat untuk memanipulasi pikiran. Dan semua itu terdedah di depan mata kita. Direproduksi untuk dinikmati di rumah.

"Baiklah, sudah selesai. Kau tadi bilang kau sudah dapat pesannya?"
"Lupakan. Aku sepertinya ingin menangis sekarang."
Dia tersenyum dan menepuk-nepuk punggungku seolah mengatakan, "aku mengerti perasaanmu."
Kami mulai beranjak sebelum dia mengatakan, "hey, kau menonton Termenye-menye episode 
kemarin?"
"Tidak", jawabku. "Tapi mungkin aku akan mulai melihatnya minggu depan."

Dan Umberto Eco menyebut Hiperrealitas sebagai "kepalsuan yang otentik". Mungkinkah saat itu ia sedang menonton siaran televisi Indonesia?

10 comments:

Nia Janiar said...

Ini tentang Situ Gintung, bukan? Karena kalau iya, saya mau sharing. Hehe.

Kadang kayaknya kameramen nggak berperasaan. Nanya 'gimana perasaannya', 'apa kabar ibu?', 'pasti ibu sedih banget ya?', seperti yang tidak bisa baca situasi.

Waktu itu dosen saya pernah jadi relawan korban bencana. Ketika ada yang bertanya 'gimana perasaan anda?', si korban menjawab berteriak, "Saya baru kehilangan harta dan nyawa, kamu pikir perasaan bagaimana??!"

Ya begitulah. Hehe.

Jenny Jusuf said...

"Dan Umberto Eco menyebut Hiperrealitas sebagai "kepalsuan yang otentik". Mungkinkah saat itu ia sedang menonton siaran televisi Indonesia?"

Nope. Dia baru nonton iklannya. ;-)

ezra said...

nia:
yep, dan jg tentang semua acara tv yg mengeksploitasi drama. biasa aja knapa sih. lebay bgt. i said i've got the message.
kalo aku yg jadi korban itu aku bilang "coba sini, mas, saya yg pegang kamera dan mas yg berkubang di lumpur bau itu. habis itu coba ceritain bagaimana perasaan mas. kalo mas bilang itu ga enak, coba mas kalikan perasaan itu 100 kali. nah, itu jg bukan yg saya rasakan skarang krn mas nggak akan prna tau gimana rasanya."
haha.. emosi jiwa..

JJ:
yippie.. akhirnya datang juga kau, jen.
ahaha.. aku nggak prnah nonton iklan, takganti acara yg lain kalo lagi iklan.
eh, kau lg ngomongin tentang iklan pemutih wajah dlm 7 hari itu ya? haha...

Babisuper said...

barangkali mereka perlu berlatih menunjukkan empati..

yoan said...

hha...
penderitaan orang jadi sirkus buat orang lain.

tidak cuma ada di Indonesia...
sepertinya di seluruh dunia serupa...

Anonymous said...

miris. Sepertinya sudah mulai tak beretika

ezra said...

babisuper:
yep. practice makes perfect. moga2 ga butuh banyak bencana bwt jadi ahli empati

yoan:
sbenernya dimana2 sama aja sih. cuma di indonesia jadi lebih ekstrim. orang indonesia tu ndeso, kata ayu utami. kepala di dlm tabung tv tp kaki masi di dlm lumpur

ekaria:
pokoknya selama tv masi berdasar sistem rating ya akan gitu terus hasilnya

Yoes Menoez said...

Kayaknya kalo pas wawancara korban bencana alam (atao bencana sosial) reporternya pasti mengawali dengan pertanyaan retoris semacam itu: Bagaimana perasaan Anda? (coba kalo tuh orang diwawancara 10 stasiun TV, belom media yg lain?)
Ngomongin bencana jadi inget waktu gempa dan harus tinggal di barak pengungsian, waktu itu banyak banget yg maen syuting seenaknya, menyebalkan! Sampe temen saya yg rumahnya deket jalan raya nulis gede2 di tembok sisa rumahnya : Kami bukan tontonan!

Marshmallow said...

ah, ini yang pernah kau bahas di blogku bukan, ez? bahwa drama telah membuat bias persoalan yang sebenarnya, dan jadilah orang lupa pada esensi cerita sebenarnya.

yupe, aren't we all drama queen inside?

ezra said...

yoes menoez:
aku pas gempa itu lagi mandi padahal. aku baru sadar kalo trnyata parah stelah jalan ke selatan menuju bantul.
btw, pertanyaan retorik kan? jadi ga butuh jawaban kan?

marshmallow:
nope, i'm drama prince. ahaha...